Mohon tunggu...
Welly Eru
Welly Eru Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Nama Pena: Ikko Williams (Penulis novel Amin yang Sama dan Sujudku Karena Cinta)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Balada Redup Asa

25 Juli 2024   16:51 Diperbarui: 25 Juli 2024   16:55 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana Sang Khalik selalu elok, namun terkadang sebagai homo sapiens, perasaan acapkali skeptis. Meresahkan hal yang terbungkus kabut kemungkinan, meragukan-Nya, hingga menentang simpul takdir. Seperti kisahnya Lakshman, pria tua di balik kerangkeng penjara di pedalaman Tidore. Pemicunya adalah nyolong kayu bakar.


Dilucuti sandangnya oleh warga, diarak mengelilingi kelurahan, dipukuli, ditendangi, dicerca, disumpahi, dihinakan sehina-hinanya hingga luruh segala harga diri. Belum lagi ketika di sel, perlakuan yang sama menderanya bertubi-tubi karena saat introgasi, Lakshman hanya membisu dan membisu.

Pada hari ketika lembayung senja mengintip cantik dari ventilasi ruangan bui, Lakshman merobek seragam oranyenya dan menciptakan sebuah tali panjang. Untuk gantung diri.

Setelah mengikat kuat kain itu ke pojok atas kerangkeng besi, Lakshman mengekstimasi lingkar leher dengan jengkal tangannya yang kasar. Kepayahan ini, akan lenyap. Tidak ada yang bisa mengenyahkanku dari bui ini. Aku tidak bisa mengulur harapan tanpa akhir, batinnya tidak sabar.

Mungkin hidup memang penuh kesempatan, tetapi ia ragu bahwa kematian itu ditentukan oleh Ilahi.

Terengah-engah Laksman ketika mengalungkan tali itu ke lehernya, ia memanjat siku ruangan kecil berbau tak sedap tersebut dengan mantap. Hingga, ketika tali itu dirasa sudah menjerat kuat, lelaki kurus itu segera melepas pancatan kakinya.

Engap, pedih, pasrah, sesal, putus asa, semua berkecamuk di pikirannya ketika tubuh bugilnya menggelantung karena lehernya berhasil tercekek dengan kuat. Matanya melotot, semua urat tubuhnya menegang hebat, ia siap mati.

"Ada napi gantung diri!"

"Mana! Mana!"

"Cepat tolong dia!"

"Gimana caranya, begok! Kita semua dikerangkeng!"

"Masih gerak itu!"

"Iya cepat! Sebelum napasnya kehabisan!"

"Panggil polisi cepat!"

"Hei Pak Tua! Kenapa gantung diri segala, begok!"

GEMPAR!

Para napi gaduh.

Pria-pria berseragam impian banyak insan, pria-pria pengayom masyarakat, pria-pria berpangkat dan penolong. Mereka langsung berlarian menuju sel Lakshman.

"Sudah mati, Pak!"

"Belum! Itu tangannya masih gerak!"

Gembok kerangkeng pun dibuka polisi dan Lakshman berusaha diturunkan.

"Begok begok begok! Kamu kira dengan mati, masalahmu selesai, hah?!" Kecam Aipda Marhadi, polisi tambun yang segera menampari pipi Lakshman karena napi tersebut pingsan.

Aipda Marhadi terus melayangkan tamparan kuat di pipi Lakshman yang pingsan. Suara hantaman itu menggema di dalam ruang penjara yang sempit. Para napi lainnya hanya bisa mengamati dengan tegang di balik sel masing-masing, sementara beberapa di antaranya memprotes tindakan Marhadi yang kasar.

"Bangun, bedebah!" Teriaknya dengan nada penuh emosi.

Setelah beberapa menit, Lakshman mulai kembali sadar. Napasnya tersengal, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Dia masih merasakan bekas cekikan di lehernya yang nyeri.

"Ini, minum dulu." Polisi yang lain menyodorkan gelas plastik berisi air kepada Lakshman, yang langsung menyambarnya dan menyesap penuh dahaga.

Aipda Marhadi mengamati napas berat Lakshman dan perlahan-lahan merasakan kemarahan dalam dirinya surut, digantikan oleh rasa frustasi dan kelelahan. Ada suatu perasaan aneh yang menelusup dalam hatinya -- apakah itu belaskasih atau sesuatu yang lebih dalam?

Hari itu beranjak malam, para napi kembali ke sel masing-masing dengan langkah berat. Lakshman duduk di pojok selnya dengan selimut tebal pemberian polisi, meraba lehernya yang terluka. Aipda Marhadi, yang seharusnya sudah pulang, memilih duduk di depan sel Lakshman. Ada sesuatu dalam pandangan Lakshman yang mengganggu pikirannya, mengaduk-aduk perasaan yang sekian lama terkubur.

"Kenapa kamu lakukan itu?" tanya Marhadi perlahan.

Lakshman mengangkat wajahnya, mata redupnya menatap Aipda Marhadi. Sesaat, seolah-olah waktu berhenti dan suara-suara di sekitar menghilang.

"Apa lagi yang bisa kuharapkan dari hidup ini, Pak Polisi? Hidupku sudah hancur. Tidak ada lagi kehormatan, tidak ada lagi harga diri. Bahkan untuk hidup pun, aku rasa aku tidak cukup layak."

Keheningan yang menyusul ucapan itu begitu mencekam. Aipda Marhadi menatap Lakshman dengan tatapan penuh perenungan. Di luar bilik penjara, malam semakin gelap, namun percakapan mereka baru saja dimulai.

Marhadi menarik napas dalam-dalam. Hidup ini, pikirnya, penuh dengan ironi yang terlupakan. Sebagai polisi, dia selalu berada di atas angin, memegang otoritas dan merasa punya kendali atas hidup orang lain. Namun, di balik seragam dan pangkatnya, dia hanyalah manusia biasa -- sama seperti Lakshman.

"Semestinya, sebagai polisi, aku harus jadi pengayom, bukan hakim. Lakshman, aku meminta maaf. Tindakanmu ini, meski salah, adalah teriakan hati yang tak terdengar," ujar Aipda Marhadi dengan nada lebih lembut dan penuh penyesalan.

Lakshman terpaku, tidak percaya dengan perubahan sikap polisi tambun di depannya. Aipda Marhadi perlahan menyadari, bahwa tugasnya bukan hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga untuk memahami dan mengayomi.

"Keluargamu dimana, Lakshman?" tanya Aipda Marhadi sambil memeluk lutut.

Lakhsman menggeleng.

"Tidak ada?"

"Istriku meninggal karena kanker pankreas, Pak, dua tahun yang lalu."

"Orang tuamu?"

"Entahlah. Aku sudah keluar dari keluarga orang tuaku sejak umur 19 tahun. Mungkin mereka juga sudah mati.

"Kenapa dulu kau keluar dari keluargamu?"

"Sebagai anak keluarga anggota dewan, aku tidak cukup berprestasi, Pak. Aku lebih memilih pergaulan bebas dan jatuh cinta dengan seorang wanita, aku lalu tinggal bersama wanita itu dan menikahinya hingga punya satu anak. Tapi, kanker pankreas itu ..."

"Aku turut prihatin dengan kehilangan itu, Lakshman. Sekarang dimana anakmu?"

Lakshman menggeleng lalu termenung.

"Umur berapa dia?" lanjut Aipda Marhadi.

"Anakku, Ahmad Yasir, minggat dari rumah juga, Pak, karena malu punya bapak semiskin aku."

Tak terasa air mata Aipda Marhadi menganak sungai.

"Kenapa kamu mencuri kayu, Lakhsman?"

"Aku kira, hutan adalah pelarian hidup yang tepat, aku nyaman di sana walaupun tidak punya siapa-siapa lagi. Aku selalu mengambil kayu di sana untuk kujual. Demi menyambung hidup."

Malam itu, di bawah sinar lampu yang temaram, mereka berdua berbicara. Aipda Marhadi mendengarkan cerita hidup Lakshman, dan dalam cerita itu, dia menemukan cerminan dari hidupnya sendiri -- kegagalan, kesulitan, dan harapan yang nyaris padam. Tepat saat fajar mulai menyingsing, Aipda Marhadi pun mendapat pelajaran berharga: bahwa dalam setiap manusia, betapapun salah dan berdosanya, selalu ada kisah yang layak didengar dan dihargai.

"Saya janji, mulai sekarang, saya akan lebih peduli dan mengerti. Mungkin kita bisa mulai dari sini, dari sama-sama berjuang untuk menjadi lebih baik," kata Aipda Marhadi di akhir percakapan mereka, dengan senyum penuh harapan. "Selesaikan masa tahananmu, Lakshman. Jika kau memang dinyatakan bersalah, itu hanya hukuman tiga bulan. Aku janji akan memenuhi kebutuhan makananmu."

Lakshman mengangguk pelan, untuk pertolongan yang sudah lama tidak ia rasakan. Kini ia merasa tidak sendirian dan lebih bisa mensyukuri hidup.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun