"Aku turut prihatin dengan kehilangan itu, Lakshman. Sekarang dimana anakmu?"
Lakshman menggeleng lalu termenung.
"Umur berapa dia?" lanjut Aipda Marhadi.
"Anakku, Ahmad Yasir, minggat dari rumah juga, Pak, karena malu punya bapak semiskin aku."
Tak terasa air mata Aipda Marhadi menganak sungai.
"Kenapa kamu mencuri kayu, Lakhsman?"
"Aku kira, hutan adalah pelarian hidup yang tepat, aku nyaman di sana walaupun tidak punya siapa-siapa lagi. Aku selalu mengambil kayu di sana untuk kujual. Demi menyambung hidup."
Malam itu, di bawah sinar lampu yang temaram, mereka berdua berbicara. Aipda Marhadi mendengarkan cerita hidup Lakshman, dan dalam cerita itu, dia menemukan cerminan dari hidupnya sendiri -- kegagalan, kesulitan, dan harapan yang nyaris padam. Tepat saat fajar mulai menyingsing, Aipda Marhadi pun mendapat pelajaran berharga: bahwa dalam setiap manusia, betapapun salah dan berdosanya, selalu ada kisah yang layak didengar dan dihargai.
"Saya janji, mulai sekarang, saya akan lebih peduli dan mengerti. Mungkin kita bisa mulai dari sini, dari sama-sama berjuang untuk menjadi lebih baik," kata Aipda Marhadi di akhir percakapan mereka, dengan senyum penuh harapan. "Selesaikan masa tahananmu, Lakshman. Jika kau memang dinyatakan bersalah, itu hanya hukuman tiga bulan. Aku janji akan memenuhi kebutuhan makananmu."
Lakshman mengangguk pelan, untuk pertolongan yang sudah lama tidak ia rasakan. Kini ia merasa tidak sendirian dan lebih bisa mensyukuri hidup.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H