Marhadi menarik napas dalam-dalam. Hidup ini, pikirnya, penuh dengan ironi yang terlupakan. Sebagai polisi, dia selalu berada di atas angin, memegang otoritas dan merasa punya kendali atas hidup orang lain. Namun, di balik seragam dan pangkatnya, dia hanyalah manusia biasa -- sama seperti Lakshman.
"Semestinya, sebagai polisi, aku harus jadi pengayom, bukan hakim. Lakshman, aku meminta maaf. Tindakanmu ini, meski salah, adalah teriakan hati yang tak terdengar," ujar Aipda Marhadi dengan nada lebih lembut dan penuh penyesalan.
Lakshman terpaku, tidak percaya dengan perubahan sikap polisi tambun di depannya. Aipda Marhadi perlahan menyadari, bahwa tugasnya bukan hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga untuk memahami dan mengayomi.
"Keluargamu dimana, Lakshman?" tanya Aipda Marhadi sambil memeluk lutut.
Lakhsman menggeleng.
"Tidak ada?"
"Istriku meninggal karena kanker pankreas, Pak, dua tahun yang lalu."
"Orang tuamu?"
"Entahlah. Aku sudah keluar dari keluarga orang tuaku sejak umur 19 tahun. Mungkin mereka juga sudah mati.
"Kenapa dulu kau keluar dari keluargamu?"
"Sebagai anak keluarga anggota dewan, aku tidak cukup berprestasi, Pak. Aku lebih memilih pergaulan bebas dan jatuh cinta dengan seorang wanita, aku lalu tinggal bersama wanita itu dan menikahinya hingga punya satu anak. Tapi, kanker pankreas itu ..."