Rencana Sang Khalik selalu elok, namun terkadang sebagai homo sapiens, perasaan acapkali skeptis. Meresahkan hal yang terbungkus kabut kemungkinan, meragukan-Nya, hingga menentang simpul takdir. Seperti kisahnya Lakshman, pria tua di balik kerangkeng penjara di pedalaman Tidore. Pemicunya adalah nyolong kayu bakar.
Dilucuti sandangnya oleh warga, diarak mengelilingi kelurahan, dipukuli, ditendangi, dicerca, disumpahi, dihinakan sehina-hinanya hingga luruh segala harga diri. Belum lagi ketika di sel, perlakuan yang sama menderanya bertubi-tubi karena saat introgasi, Lakshman hanya membisu dan membisu.
Pada hari ketika lembayung senja mengintip cantik dari ventilasi ruangan bui, Lakshman merobek seragam oranyenya dan menciptakan sebuah tali panjang. Untuk gantung diri.
Setelah mengikat kuat kain itu ke pojok atas kerangkeng besi, Lakshman mengekstimasi lingkar leher dengan jengkal tangannya yang kasar. Kepayahan ini, akan lenyap. Tidak ada yang bisa mengenyahkanku dari bui ini. Aku tidak bisa mengulur harapan tanpa akhir, batinnya tidak sabar.
Mungkin hidup memang penuh kesempatan, tetapi ia ragu bahwa kematian itu ditentukan oleh Ilahi.
Terengah-engah Laksman ketika mengalungkan tali itu ke lehernya, ia memanjat siku ruangan kecil berbau tak sedap tersebut dengan mantap. Hingga, ketika tali itu dirasa sudah menjerat kuat, lelaki kurus itu segera melepas pancatan kakinya.
Engap, pedih, pasrah, sesal, putus asa, semua berkecamuk di pikirannya ketika tubuh bugilnya menggelantung karena lehernya berhasil tercekek dengan kuat. Matanya melotot, semua urat tubuhnya menegang hebat, ia siap mati.
"Ada napi gantung diri!"
"Mana! Mana!"
"Cepat tolong dia!"