Aku duduk di sampingnya dan memberikan secangkir teh. Semilir angin malam merasuki kami, membawa keheningan yang damai. Kami tidak banyak bicara, tapi keheningan itu diisi oleh perasaan yang saling memahami.
Dari hari ke hari, perasaan itu semakin tumbuh. Putri yang selalu ceria dan penuh kasih sayang terhadap anak-anak desa membuat hatiku semakin terpikat. Aku mulai menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar rasa suka sesaat. Perasaan ini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi jingga, aku memutuskan untuk memberanikan diri. Kami berada di tepi sawah, mengamati indahnya matahari terbenam.
"Putri," panggilku pelan.
Dia menoleh dengan senyum yang selalu kubuatkan sebagai alasan untuk terus bertahan. "Ya, Sandi?"
Aku menatap ke dalam matanya, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tahu mungkin ini terdengar tiba-tiba, tapi... aku merasa sangat dekat denganmu selama waktu kita di sini. Aku... aku jatuh cinta padamu."
Putri sedikit terkejut, tapi kemudian sebuah senyum manis terulas di wajahnya. "Sandi, selama ini aku juga merasakan hal yang sama. Setiap hari denganmu di sini adalah hari yang selalu akan aku kenang."
Kami saling menatap, dan di bawah cahaya matahari terbenam yang indah, kami berdua merasakan kehangatan cinta yang sangat nyata. Mulai saat itu, kisah cinta kami di Desa Merah menjadi kenangan manis yang akan selalu kami bawa dalam hati, di mana pun kami berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H