***
Yudi yang baru saja pulang dari Desa Kuan segera menghampiri dan mencoba menenangkan tubuhku yang kini menggigil kedinginan.
"Kita harus panggil Pak Surya," celetuk salah seorang temanku dengan penuh kekhawatiran.
"Sih, sadar, Sih. Istigfar."
"Asih, kamu nggak papa kan?"
Banyak sekali orang yang mengkhawatirkanku, tapi tatapanku terasa kosong dan pikiranku masih tertuju ke kepala seram yang menggelinding di meja dapur.
Pak Surya segera disusul di Kuan menggunakan motor salah satu warga dan beliau pun datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak khawatir saat mencermati cerita yang keluar dari bibir gemetarku. "Kelapa yang tadi itu ya, Dek?" tanya Pak Surya memastikan dengan suaranya yang terdengar bergetar. Aku mengangguk lemah sebagai jawaban, nyaris tak sanggup berkata-kata.
Pak Surya menghela napas panjang, seolah menyusun keberanian untuk menjelaskan. "Lembah Mendongan bukanlah tempat sembarangan, terutama di malam hari. Banyak sekali mitos dan cerita menyeramkan tentang tempat itu. Kelapa muda yang kamu temukan mungkin adalah jebakan roh penasaran yang menyimpan dendam."
Aku masih terbaring dengan ketakutan yang menyisakan bayangan kepala itu dalam pikiranku, merasakan kelelahan yang menyiksa tubuhku. Pak Surya meminta izin kepada teman-temanku untuk melakukan ritual doa sederhana dengan cepat.
Udara malam terasa semakin berat, Pak Surya mengucapkan beberapa mantra sambil menyalakan dupa yang berasap tipis. Perlahan, aku mulai merasakan beban yang meringan, meski tetap diliputi rasa syok yang mendalam atas pengalaman mengerikan itu.
"Besok kita akan berbicara dengan para tetua desa untuk mencari tahu lebih lanjut," ujar Pak Surya setelah selesai. "Untuk malam ini, pastikan tidak ada yang keluar rumah setelah tengah malam. Lembah Mendongan menyimpan banyak misteri yang tak mampu kita pahami."