Ini kali kedua dalam hidupku, ditimpa masalah rumit dan aku tak tahu cara mengatasinya. Yang pertama adalah 10 tahun silam, Mama dan Papaku meninggal oleh kecelakaan pesawat dalam perjalanan menuju Amerika. Tak terkatakan lagi dahsyatnya kesedihan yang kurasa. Hingga akhirnya, hidup bersama Kakek yang penuh kasih sayang, pelan-pelan aku bisa merelakan kepergian Mama Papa dan melanjutkan hidup yang dipenuhi enigma ini.
Dan di usiaku yang ke 24 tahun ini, masalah rumit kembali menderaku. Seseorang bernama Claudia yang sudah kupacari bertahun-tahun, seminggu yang lalu harus pergi dari sisiku. Gadis rupawan yang sering meng-komparasi hidupku dengan lelaki lain itu kini telah menemukan pria yang lebih kaya raya dariku.
Diantara gemuruh patah hati ini, masalah lainnya menimpaku lagi. Aku yang telah menyepakati perjanjian dengan keluarga besarku untuk segera menikah, terus ditanyai dimana calon istriku.
Dari kesepakatan yang dihasilkan dengan ber-sawala panjang, sekarang adalah 10 hari terakhir bagiku menuju pelaminan. Kalau aku batal menikah, untuk kesekian kalinya Kakek dan anak-anaknya menjelaskan, aku sama sekali takkan mendapat harta warisan, baik dari mendiang Papa atau dari Kakek sendiri. Itu karena anak kakek sangat banyak, 8 orang lelaki. Semuanya haus akan harta warisan.
Aku mengerang seraya memandangi wajahku yang terpantul di cermin, aku sedang berada di toilet kantor milik Kakekku, tempatku bekerja. Sebentar lagi aku pulang karena tugasku hari ini telah selesai. Wajahku seketika siratkan kesayuan, hidung mancungku memerah, kantung mataku menghitam, ya, aku kelelahan. Problematika pekerjaan, cinta, harta, semuanya kerap buatku ber-senandika di malam-malam panjang.
Sebenarnya mudah saja bagiku untuk menikah, bahkan Kakek sendiri punya calon untukku --meski aku tak mau karena ia akan menjodohkanku dengan temanku semasa TK, Fanessa namanya. Kuingat dengan jelas, Fanessa adalah gadis paling menyedihkan di kelas. Gendut, tak punya gigi, ingusan dan rambutnya acak-acakan. "No!" erangku lagi sembari membasuh wajah.
Aku termenung lagi hingga dikagetkan oleh dering panggilan video dari Kakek. Lelaki tua berwajah pucat itu minta dibawakan pizza dari restoran kesukaannya sebelum aku pulang. Maka setelah kuiyakan permintaannya, aku segera kembali ke ruang kerjaku dan bersiap meninggalkan kantor di jam 17:00 ini.
"Saya pulang dulu, di meja saya ada sebuah proposal yang belum terbaca, tolong pahami dan nanti kabari saya melalui chat," ucapku pada sekretarisku yang kupapasi di lobi.
"Baik Pak Gilbert," jawab wanita muda bertubuh tambun itu.
Aku tersenyum tipis dan segera meninggalkan kantor yang berada di kawasan Sukajadi, Bandung ini. Kuhirup aroma petrikor seraya kuhampiri mobil Ferrari-ku yang terparkir di halaman, aku segera melarikannya menuju kedai pizza di kawasan simpang Dago.
Setelah lama terjebak dalam kemacetan, akhirnya aku sampai. Kusegerakan niatku memesan pizza, dan saat sang pelayan memintaku untuk menunggu, aku lantas mengangguk dan membalikkan badan. Namun naas, aku menabrak seorang gadis yang tengah membawa segelas besar minuman cokelat, minuman itu menumpahi dress putihnya dan seketika ia tampak syok, tatapan orang-orang di sekeliling pun segera tertuju pada kami. Kulihat gadis  cantik berhidung mancung dan berambut ikal sepinggang itu lari menuju toilet, rasa bersalahku membesar, aku langsung mengejarnya.
Setelah menunggu gadis itu membersihkan dress-nya, 15 menit kemudian kami terlibat dalam sebuah obrolan dengan duduk berhadapan. Namanya Alexa, gara-gara dress-nya kotor ia tak jadi datang ke acara ulang tahun temannya, namun ia tak menyalahkanku, ia menolak untuk kubelikan dress baru. Kami bercengkrama satu jam dan entah kenapa aku merasa nyaman, selanjutnya kami sama-sama saling curhat, satu jam berikutnya ia bilang butuh uang untuk biaya kuliah, ia mau bekerja apa saja. Dari masalah kami, aku lantas menarik benang merah di dalamnya, maka kutawarkan ia untuk pura-pura menikah denganku 3 bulan lamanya dengan bayaran yang akhirnya kami sepakati.
Singkat cerita, 10 hari kemudian kami melangsungkan pesta pernikahan. Meski ini merupakan pernikahan tanpa cinta, juga aku tak tahu pasti darimana Alexa berasal, aku tak merasa terbebani sedikit pun.
***
3 bulan kemudian.
Kehidupanku berjalan membaik, aku mendapatkan apa yang kuinginkan dari Kakek, rumah mewah, berhektar-herktar tanah, juga sebuah kantor cabang miliknya. Dan ini semua kudedikasikan kepada mendiang Papa.
Alexa juga tampak bahagia menjalani kehidupannya di rumahku, kami punya urusan masing-masing dan sama-sama sibuk. Meski sejak awal kami sudah sepakat untuk tak saling  menyentuh kehidupan pribadi masing-masing, ia justru terlihat semakin manis di mataku, Alexa menjelma sesosok istri yang ideal, cerdas, pandai memasak dan enak diajak bercengkrama. Ia tak meminta materi lebih meski aku menawarkan, ia hanya minta jaminan uang kuliah hingga selesai nanti. Aku jatuh hati kepadanya, cinta pada attitude-nya, cinta yang dalam.
Namun di suatu senja hari saat aku pulang kantor, kulihat Alexa berdiri di pelataran rumah dengan menenteng koper besarnya. "Maafkan aku, Bert. Aku harus pergi, terimakasih sudah menjaga kehormatanku selama ini."
Aku terdiam, sadar bahwa hari ini adalah batas akhir dari perjanjian yang kami sepakati. "Tapi Xa...," ucapku berat. Alexa hanya menunduk dan berlalu, reflek kutangkap tangannya.
 "Apa? Perjanjian kita sudah usai, Bert. Jangan cegah aku pergi."
 Hening. Kami saling tatap, Alexa lalu menepis tanganku dan mendorongku. "Selamat tinggal...," ucapnya lirih.
 Alexa semakin menjauh, tiba-tiba air mataku menetes. Bagaimana tidak, aku terlanjur menyayanginya. "Kumohon jangan pergi, Exa...," ucapku lagi. "Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu...."
 Gadis itu menoleh sesaat, matanya memerah.
 Aku tersungkur, hatiku segera diserang kepiluan. Terus kutatap keberlaluan Alexa yang menaiki sebuah taksi itu. Ia sempat meninggalkan sesuatu tak jauh dari gerbang rumah, setelah kutengok, itu adalah foto pernikahan kami, dibelakangnya kutemui sebuah kalimat. "Temui aku di Magelang kalau benar-benar cinta, temui kedua orang tuaku."
 Hening. Air mataku menetes kembali.
***
 Dua bulan sejak Alexa pergi, aku kerap menghabiskan waktu untuk mencari mahasiswi bernama Alexa di setiap kampus di Bandung. Namun hasilnya selalu nihil. Aku bahkan kerap pulang-pergi Bandung-Magelang, meminta banyak media masa untuk menampilkan foto Alexa. Aku benar-benar ingin menemuinya, namun halangan demi halangan menghampiriku, Ferrari-ku bahkan dicuri orang saat aku ke Magelang untuk kedelapan kalinya.
 Hingga suatu hari, Kakek memelukku yang hampir menyerah. Dia memintaku mengantarkannya ke Magelang.
 Dan di suatu pagi, Kakek membawaku ke sebuah rumah di pedalaman Bandongan, Magelang. Kukira ia telah membawaku menemui dukun untuk mengobati cinta gilaku pada Alexa. Namun hal yang tak terduga terjadi, Alexa berdiri menyambutku di ambang pintu, rona kebahagiaan terpancar di wajahnya, juga tangis haru, ia memelukku. Ini kali pertama aku memeluknya, Oh Tuhan terimakasih, batinku. Air mataku berlinangan, terlebih saat gadis itu menyatakan cintanya di hadapanku.
 Dan akhirnya, setelah terlibat dalam pembicaraan bersama kedua orang tuanya, kami sepakat merayakan pesta pernikahan lagi, kali ini di Magelang. Ada satu hal mengejutkanku, nama asli Alexa adalah Fanessa. Ya, dia adalah teman sekelasku semasa TK.
Selesai
Keterangan:
-Enigma: Teka-teki.
-Komparasi: Membandingkan.
-Sawala: Perdebatan (bahasa sansekerta).
-Senandika: Percakapan tokoh (dalam karya sastra) dengan dirinya sendiri.
-Petrikor: Aroma tanah sehabis diguyur hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H