Setelah menunggu gadis itu membersihkan dress-nya, 15 menit kemudian kami terlibat dalam sebuah obrolan dengan duduk berhadapan. Namanya Alexa, gara-gara dress-nya kotor ia tak jadi datang ke acara ulang tahun temannya, namun ia tak menyalahkanku, ia menolak untuk kubelikan dress baru. Kami bercengkrama satu jam dan entah kenapa aku merasa nyaman, selanjutnya kami sama-sama saling curhat, satu jam berikutnya ia bilang butuh uang untuk biaya kuliah, ia mau bekerja apa saja. Dari masalah kami, aku lantas menarik benang merah di dalamnya, maka kutawarkan ia untuk pura-pura menikah denganku 3 bulan lamanya dengan bayaran yang akhirnya kami sepakati.
Singkat cerita, 10 hari kemudian kami melangsungkan pesta pernikahan. Meski ini merupakan pernikahan tanpa cinta, juga aku tak tahu pasti darimana Alexa berasal, aku tak merasa terbebani sedikit pun.
***
3 bulan kemudian.
Kehidupanku berjalan membaik, aku mendapatkan apa yang kuinginkan dari Kakek, rumah mewah, berhektar-herktar tanah, juga sebuah kantor cabang miliknya. Dan ini semua kudedikasikan kepada mendiang Papa.
Alexa juga tampak bahagia menjalani kehidupannya di rumahku, kami punya urusan masing-masing dan sama-sama sibuk. Meski sejak awal kami sudah sepakat untuk tak saling  menyentuh kehidupan pribadi masing-masing, ia justru terlihat semakin manis di mataku, Alexa menjelma sesosok istri yang ideal, cerdas, pandai memasak dan enak diajak bercengkrama. Ia tak meminta materi lebih meski aku menawarkan, ia hanya minta jaminan uang kuliah hingga selesai nanti. Aku jatuh hati kepadanya, cinta pada attitude-nya, cinta yang dalam.
Namun di suatu senja hari saat aku pulang kantor, kulihat Alexa berdiri di pelataran rumah dengan menenteng koper besarnya. "Maafkan aku, Bert. Aku harus pergi, terimakasih sudah menjaga kehormatanku selama ini."
Aku terdiam, sadar bahwa hari ini adalah batas akhir dari perjanjian yang kami sepakati. "Tapi Xa...," ucapku berat. Alexa hanya menunduk dan berlalu, reflek kutangkap tangannya.
 "Apa? Perjanjian kita sudah usai, Bert. Jangan cegah aku pergi."
 Hening. Kami saling tatap, Alexa lalu menepis tanganku dan mendorongku. "Selamat tinggal...," ucapnya lirih.
 Alexa semakin menjauh, tiba-tiba air mataku menetes. Bagaimana tidak, aku terlanjur menyayanginya. "Kumohon jangan pergi, Exa...," ucapku lagi. "Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu...."