Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilih Sekolah yang Menghargai Subjektivitas

11 Januari 2021   21:49 Diperbarui: 11 Januari 2021   21:50 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari dulu saya sudah berkeinginan/bermimpi untuk Pilih Sekolah yang menghargai subjektivitas. Pilih sekolah yang kaya subjektivitas membuat saya seperti sekarang ini. Pandai ngeblog di Kompasiana, membuat review, biografi, cerdas berkomentar di internet dan lain sebagainya

Kemudian mimpi saya berlanjut, kelak entah kapan, anak-anak saya atau mungkin cucu-cucu saya,  juga bisa mengikuti langkah saya dan ketika mereka pulang dari sekolah, mereka lantas bergairah sekali untuk menceritakan tentang apa yang diperolehnya di sekolah.

Saya berpendapat alangkah hebatnya sekolah apabila tidak memberikan penilaian kepada anak didik di depan anak didik atau yang dapat diketahui oleh anak didik.

Sekolah akan lebih hebat lagi jika mampu menghindar dari kegiatan mengarah-arahkan dan mencap anak didik sebagai ini atau itu. Saya menganggap bahwa jika sekolah mau "membebaskan" anak didik untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri, meskipun pendapat tersebut sangat subjektif, tentulah sekolah tersebut akan menjadi salah satu tempat yang sangat menyenangkan bagi mereka.

Selama ini, sekolah memang tampak lebih cenderung mengunggulkan objektivitas. Saya tidak ingin menunjukkan di sini bahwa saya tidak setuju dengan hal objektivitas atau objektivitas itu tidak baik. Saya tetap setuju. Hanya kadang dominasi objektivitas membuat subjektivitas tidak memiliki tempat.

Pendapat-pendapat anak didik yang masih kental sifat subjektifnya dan belum teruji secara objektif kemudian mudah tenggelam sebelum sempat dimunculkan mereka. Anak-anak didik menjadi takut berpendapat.

Yang membuat keadaan tambah parah adalah jika para "penilai" di sekolah menganggap pendapat subjektif tidak ada harganya lantaran tak berdasar. Sekali lagi, bukan "isi" pendapat subjektif itu yang dipersoalkan, tetapi ketertarikan menyoroti munculnya pemberian penghargaan atas keberanian seorang anak didik mengeluarkan pendapat pribadinya, meski pendapat itu tidak istimewa atau bahkan keliru.

Keberanian berpendapat meskipun mungkin jika diukur secara objektif kurang tepat, perlu dihargai oleh semua pihak yang terlibat dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.

Apakah anak-anak yang masih kecil mau secara berani mengeluarkan pendapat pribadinya apabila pendapatnya disalah-salahkan terus?

Akhirnya kita melihat, tentu tidak semua sekolah mengalami hal ini. Anak-anak cenderung menyembunyikan dirinya untuk tidak berpendapat karena takut salah. Jika ada seorang guru yang melontarkan pertanyaan kepada anak didik usai memberikan suatu materi pelajaran, 

"Siapa yang mau bertanya?" Terjadilah kebisuan di ruangan kelas. Anak-anak saling berpandangan dan bahkan hampir sebagian besar menundukkan kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun