Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Hutan Indonesia, Paru-paru Dunia yang Tertindas

31 Agustus 2020   21:37 Diperbarui: 2 September 2020   02:17 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hutan dieksploitasi untuk pendukung hidup, seperti untuk tempat tinggal, diambil kayunya, dijadikan lahan pertanian, perkebunan sawit dan penambangan. Namun yang menyedihkan, eksploitasi sumber daya hutan ini tidak diiringi peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama kami masyarakat lokal/masyarakat setempat"

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mendapat tugas dari kantor untuk mengikuti sebuah seminar bertaraf international bertemakan Hutan Indonesia dan Climate Change. 

Dalam seminar itu diantaranya dibahas bagaimana upaya pengelolaan dan penyelamatan hutan khususnya Hutan Sumatera dengan melibatkan masyarakat lokal atau bisa juga disebut masyarakat adat. 

Tak pelak dalam dalam acara tersebut turut hadir beberapa masyarakat lokal sebagai pemangku adat hutan dan beberapa nominator penerima kalpataru Provinsi Aceh Tahun 2017 yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat lokal/adat (masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan).

Foto: Dokumen Pribadi
Foto: Dokumen Pribadi
Banyak pesan dan harapan yang disampaikan oleh masyarakt adat tersebut. Namun karena waktu yang terbatas tidak semua suara mereka dapat apresiasi. 

Ada ketidakpuasan dalam diri saya, karena ada beberapa pertanyaan penting dan menarik dari mereka yang tidak terjawab oleh narasumber. Dari sinilah awal mula keinginan saya untuk melakukan pengamatan atau observasi kembali di salah satu titik hutan kawasan sumatera yakni Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) wilayah Aceh Tenggara. 

Anggap saja ini sebuah riset, begitu yang saya pikirkan, riset kecil-kecilan yang dapat berdampak luas. Riset atas keinginan sendiri ini juga melengkapi laporan perjalanan dinas saya yang dapat dijadikan pedoman oleh kantor terutama dalam bekerja sama dengan instasi lingkungan lainnya terkait pengelolaan lingkungan khususnya kawasan hutan.

Sebelumnya saya sudah pernah datang ke Stasiun Riset/Penelitian Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara melakukan penelitian lapangan dalam rangka menyelesaikan tugas kuliah saya sebagai mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang mengambil jurusan Biologi Bidang Ekologi. 

Kini saya bekerja di Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Barat yang kerap mengikuti berbagai seminar lingkungan hidup yang salah satunya seminar yang disebutkan di atas.

***

Suatu hari ketika saya melakukan riset, saya duduk termanggu sendirian sambil memandang hamparan hutan Leuser yang luas. Sesekali terdengar sayup gemericik arus sungai alas dari kejauhan. 

Hari itu menjadi hari yang sangat berarti buat saya, Hari di mana semua pertanyaan yang bergejolak dalam benak/batin saya serta pesan dan harapan masyarakat adat dalam seminar yang saya ikuti itu seakan terjawab sudah dengan sendirinya.

Ketika saya duduk termanggu sendirian sambil memandang hamparan hutan Leuser yang luas (foto dokumen pribadi).
Ketika saya duduk termanggu sendirian sambil memandang hamparan hutan Leuser yang luas (foto dokumen pribadi).
Dalam lamunan, saya merenung dan berfikir, waktu saya kecil hutan masih sangat bagus, tapi kurang termanfaatkan untuk kepentingan manusia. Kemudian saat saya remaja, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dibuka dan mulai berkembang lalu terjadilah degradasi hutan. 

Sampai kemudian saya dewasa hingga sekarang kerusakan hutan semakin parah. Luas hutan berkurang hampir lebih dari 60 % untuk Sumatera saja.

Dari data-data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa luas hutan Sumatera yang masih bagus paling tidak hanya sekitar 30 % dari luas seluruh Sumatera

Kemudian saya berfikir lagi, terkait media massa nasional yang dalam beberapa minggu terakhir khususnya saat menyambut Hari Hutan Indonesia yang jatuh pada 7 Agustus, memberitakan banjir besar yang terjadi di Aceh hingga Papua. 

Kejadian banjir besar seperti ini seringkali dikaitkan dengan kerusakan hutan. Kaitan tersebut membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan, benarkah kerusakan hutan mengakibatkan banjir bandang? Atau kerusakan hutan terkait dengan manajemen pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah?

Tiba-tiba lamunan dan pikiran saya tersadar oleh kedatangan seorang bapak bersama seorang anak kecil. Wajahnya sepertinya tidak asing bagi saya. 

Betapa tidak, bapak itu adalah salah seorang peserta dan nominator penerima kalpataru dalam acara seminar yang saya ikuti waktu itu. Bapak itu juga katanya melihat dan memperhatikan saya saat acara tersebut. 

Sang bapak bernama Ibrahim ini adalah seorang masyarakat desa pemangku/komunitas adat penyelamat lingkungan hutan leuser yang tinggal di Desa Ketambe di anak Sungai Alas kawasan ekosistem Leuser Aceh Tenggara. Beliau sangat bersyukur menjadi nominator walaupun tidak menang.

Foto: Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh.
Foto: Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh.
Yang saya ketahui, penduduk setempat Ketambe memiliki keramahtamahan dan juga secara alami berpengetahuan terutama menyangkut hutan. 

Sehingga banyak Cerita Dari Hutan, ilmu dan wawasan yang saya dapat dari mereka terutama pak Ibrahim dan beliau seakan mewakili suara hati masyarakat lokal/adat hutan dan apa yang terjadi di seluruh hutan Indonesia saat ini.

Beliau bercerita jika saat ini hutan Leuser terutama di Kawasan Aceh Tenggara terus mengalami penyusutan. Populasi penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya dan adanya permintaan produk hutan yang tinggi menjadi salah satu penyebab utamanya.

Salah satu kawasan Ekosistem Leuser yang berada di wilayah Aceh Tenggara, Aceh (Foto dokumen pribadi)
Salah satu kawasan Ekosistem Leuser yang berada di wilayah Aceh Tenggara, Aceh (Foto dokumen pribadi)
Menurut beliau hutan dieksploitasi untuk pendukung hidup. Seperti untuk tempat tinggal, diambil kayunya, dijadikan lahan pertanian, perkebunan sawit dan penambangan. Namun yang menyedihkan, eksploitasi sumber daya hutan ini tidak diiringi peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama kami masyarakat lokal/masyarakat setempat.

"Kami terus saja kehilangan akses dalam pemanfaatannya, karena penguasaan kekayaan sumber daya hutan banyak di dominasi oleh pengusaha besar," ujar Ibrahim dengan terbata-bata. 

"Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Namun kami yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan di kawasan hutan itu justru menjadi sensara." Tambah Ibrahim dengan sedikit emosi.

Ibrahim mengajak komunitasnya untuk Jaga Hutan, Bergotong Royong Melestarikan Hutan (Adopsi Hutan) serta menghalau semua bentuk perambahan hutan demi anak cucu mereka dan sebenarnya demi anak cucu bangsa Indonesia. 

Mereka telah membuktikan dari dulu hingga sekarang bahwa selama masyarakat lokal hidup di hutan, mereka tidak pernah memusnahkan hutan yang mereka diami dan menjual hasil hutan tanpa aturan yang jelas. Karena alam/hutan merupakan habitat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. 

Dan merekapun sudah membagi hutan itu menjadi hutan cadangan, hutan yang tidak boleh diganggu gugat, hutan yang boleh diproduksi atau tidak boleh dan sebagainya. Mereka sudah mempunyai kearifan lokal dan sekarang tinggal melakukan revitalisasi terhadap apa yang ada di masyarakat tersebut.

Foto: www.berdikarionline.com
Foto: www.berdikarionline.com
Yang membuat pak Ibrahim kesal dan miris, pemerintah masih tidak melihat bagaimana semestinya masyarakat di sekitar hutan berperan. Seperti DPR/DPRD yang kurang mengetahui aturan di masyarakat lokal, seperti sistem pembagian pemanfaatan hutan yang telah berlangsung secara turun-temurun.

"Yang memusnahkan hutan justru dari beberapa kebijakan pemerintah yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada pengusaha. Mereka mengambil kayu secara besar-besaran, padahal hutan sesungguhnya bukan hanya kayu, namun hasilnya tidak untuk kepentingan masyarakat lokal, kami sesungguhnya tetap saja  dalam situasi yang kurang menguntungkan" Ucap Ibrahim tegas.

Perbincangan kami terus berlanjut dan saya pun akhirnya mempunyai pandangan banyak hal terkait kondisi dan pemanfaatan hutan Indonesia khususnya Sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser saat ini. Di akhir perbincangan Pak Ibrahim memohon agar hutan tetap dijaga, dilestarikan dan masyarakat lokal/adat ditingkatkan taraf ekonominya.

***

Adapun pandangan saya terkait hutan indonesia dari riset dan perbincangan saya dengan Pak Ibrahim antara lain;

  • Dari Segi Kondisi

Hutan Indonesia seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sungguh tidak perawan lagi, karena telah banyak dialih fungsikan untuk perkebunan seperti kelapa sawit, ladang berpindah, pertambangan, pembangunan jalan, dan bentuk-bentuk perambahan hutan lainnya.

Praktik KKN, penebangan liar, alih fungsi hutan dan kebakaran hutan kian memperparah kondisi ini karena aparat dan instansi terkait tidak melakukan pengawasan dan pengendalian dengan baik. Sehingga tak heran jika di musim kemarau terlalu kering dan di musim hujan  terjadi banjir

Pengamatan menunjukkan, hutan Indonesia banyak dikonversi menjadi perkebunan sawit. Tentu fungsinya sebagai hutan tidak sama lagi, mungkin untuk mengatur siklus hidrologi masih bisa, tetapi banyak fungsi lain yang hilang yang diakibatkan oleh alih fungsi hutan ini. 

Jadi memang sudah waktunya hutan-hutan di Indonesia khususnya Kawasan Ekosistem Leuser dan kawasan-kawasan hutan lain di Sumatera, tidak lagi memberikan izin untuk alih fungsi hutan. 

Jika terpaksa sekali, harus dilakukan penilaian ekonomi yang seksama, manakah yang lebih baik atau menguntungkan. Barangkali jika memang masih ada lahan-lahan yang tertinggal seperti lahan kritis, jika ingin dijadikan perkebunan dan pertambangan silahkan saja saya pikir.

Kawasan Ekosistem Hutan Leuser di Aceh Tamiang yang berubah menjadi perkebunan sawit (foto: dokumen pribadi).
Kawasan Ekosistem Hutan Leuser di Aceh Tamiang yang berubah menjadi perkebunan sawit (foto: dokumen pribadi).
Berbicara tentang sawit, bila dibandingkan dengan karet, maka yang lebih cocok dikatakan perkebunan lestari itu adalah karet. Walaupun hasil penjualan sawit lebih mahal, tapi untuk jangka panjang, sawit tidak sebaik karet untuk kelestarian lingkungan. 

Karena karet terbukti selama puluhan tahun tidak menunjukkan dampak negatif yang besar terutama untuk tata kelola air di hutan. Jadi untuk sawit saya pikir dapat dikembangkan menjadi berbagai produk industri, seperti untuk biofuel, plastik ramah lingkungan, produk kosmetik dan bahan makanan ataupun yang lainnya.

  • Dari Segi Pemanfaatan

Usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan Indonesia sebenarnya telah sejak lama dilakukan, tetapi masih belum memberi hasil yang memuaskan. Dan ternyata pola pemanfaatan hutan, praktik KKN dan ketidakmampuan pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian menjadi biang utama kerusakan hutan.

Pola pemanfaatan hutan masih mengedepankan pemanfaatan hasil kayu dengan diberikannya izin HPH kepada para pengusaha. Pengalaman menunjukkan, sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sekarang ini, sebagian besar tidak menguntungkan masyarakat lokal namun menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Para pemegang izin HPH ini melakukan penebangan tanpa memperhatikan keberlanjutan fungsi hutan seperti tidak melakukan penanaman kembali serta penebangan pohon yang tidak sesuai dengan batas yang telah ditentukan dalam izin.

Hutan Indonesia seperti hutan produksi kurang termanfaatkan untuk kepentingan manusia. Memang untuk sementara peningkatan pemanfaatan kayu dapat menimbulkan peningkatan perekonomian, tetapi itu tidak berdampak langsung terhadap masyarakat lokal. 

Padahal sesungguhnya hutan itu adalah milik masyarakat lokal, walaupun ada istilah hutan Negara, tapi sebenarnya itu sejak awal telah menjadi hak-hak masyarakat lokal.

Keuntungan yang didapat justru lebih banyak mengalir ke tempat lain. Mungkin ke Jakarta atau ke luar negeri. Jelas ini sebuah kekeliruan buat saya, bukan hanya pemerintah, tapi kita semua. 

Jadi saya pikir perlu upaya serius, salah satu diantaranya adalah pemanfaatan hasil hutan terutama non kayu dengan berbagi keuntungan yang baik untuk masyarakat lokal. Jadi yang harus diingat, potensi degradasi hutan dapat saja terjadi dengan mudah, jika tidak dilakukan pengelolaan hutan dengan baik, apalagi jika sudah dibuka HPH

Tingginya laju kerusakan hutan akhirnya menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan, salah satunya Moratorium Penebangan Hutan. Kebijakan ini diharapkan dapat menghentikan atau setidaknya mengurangi kerusakan hutan. Namun ada hal penting yang mesti dilakukan pemerintah yaitu merubah pola pemanfaatan hutan dari hasil kayu menjadi hasil non kayu. 

Pemanfaatan hasil hutan non kayu adalah langkah yang cerdas dalam pengelolaan hutan, karena hutan tidak akan rusak. Kita tetap sejahtera jika kita memanfaatkan hutan dalam bentuk pemanfaatan non kayu seperti tanaman obat, tanaman pewangi, tanaman pewarna atau aromatik, kosmetika, madu, untuk wisata/rekreasi, pangan dan lain-lain. 

Potensi ini tidak tergali dan termanfaatkan secara serius. Bahkan negara luar yang memanfaatkan dan menikmati potensi hasil hutan non kayu kita.

Foto: dokumentasi pribadi.
Foto: dokumentasi pribadi.
Seorang pakar obat herbal dari Jawa Timur mengatakan bahwa obat herbal diabetes dari Malaysia dijual seharga Rp. 500.000, padahal bahan dasarnya adalah biji mahoni yang banyak terdapat di hutan Indonesia. 

Jadi saatnya pemerintah merumuskan kebijakan untuk menggali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat adat/lokal.  Dengan begitu masyarakat lokal akan sejahtera dan termotivasi menjaga hutan.

Pemanfaatan hasil hutan non kayu (foto; www.bukusekolah.net)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu (foto; www.bukusekolah.net)
Jadi untuk kebutuhan kayu, saya pikir cukuplah dari Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Produksi (HP) yang ada dan dikelola sebaik-baiknya dengan prinsip berkelanjutan. 

Seperti luasan areal yang cukup, dan setelah ditebang segera ditanam kembali (reboisasi). Bila kebutuhan kayu dalam negeri tidak terpenuhi, tidak salahnya jika kita import.

***

Oh Hutan Indonesia, bagaimana nasibmu kelak? "Paru-Paru Dunia" sungguh berada dalam keadaan kritis. Luasnya beberapa tahun belakangan terus mengalami penurunan yang sangat signifikan. 

Ancaman dan tekanan terhadap kelestariannya terus saja terjadi di usia kemerdekaan RI yang ke-75 apalagi di tengah wabah pandemi Corona, padahal sudah ada undang-undangnya.

Foto: dokumentasi pribadi.
Foto: dokumentasi pribadi.
"Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap kondisi "Paru-Paru Dunia". Kepedulian bersama masyarakat khususnya masyarakat lokal harus semakin ditingkatkan apalagi di momen Hari Hutan Indonesia . 

Laksanakan dengan konsekuen UU/Regulasi yang sudah ada, salah satunya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan memberikan sanksi/efek jera yang berat bagi para pelanggar. Karena jika tidak "paru-paru dunia/ibu pertiwi takkan bisa bernafas dengan leluasa."

~Selamat Hari Hutan Indonesia yang Pertama (07 Agustus 2020), Tingkatkan Kepedulian Terhadap Hutan Indonesia seperti dengan Kegiatan Adopsi Hutan , Jangan Sampai Hutan indonesia Terus Mengalami Kerusakan dan Terancam Hilang~Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun