Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Nenek moyangku seorang pelaut sejati
Tiada takut mengarung samudra luas
Laut biru dan gelombang badai angin menerpa
Tak gentar menghadang semua halang rintangan itu
Lirik lagu Nusantara karya Ibu Sud di atas mengingatkan saya pada sebuah kampung rumah panggung sederhana di atas laut yang kadang tak lagi berpenghuni dengan terumbu karang muda yang dikerumuni ikan-ikan kecil nan mungil berwarna warni. Jarang yang tahu kemana penghuninya pergi, namun pada suatu waktu mereka akan kembali ke rumah-rumah panggung tersebut. Rumah-rumah panggung tersebut adalah sebuah permukiman Suku Bajo yang terdapat di Kampung Bajo Laut Lukko Siangpiong di Kabupaten Konawe Utara, di sekitar Pulau Labengke perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
![Jejeran rumah orang bajo di atas laut, di kampung Lukko Siangpiong di Kabupaten Konawe Utara. (Foto: ANTARA Foto.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-5-2-58bac7a0cb23bd61076dc517.jpg?t=o&v=770)
Masyarakat inilah yang disebut-sebut sebagai Suku Bajo, yakni suku yang menggantungkan hidup dari laut, memiliki kehidupan yang tak pernah jauh dari laut dan tinggal di rumah-rumah panggung yakni rumah tradisional non-permanen tanpa listrik, dengan dinding rumah terbuat dari kayu atau daun rumbia dan kelapa dan atap rumah terbuat dari bahan seng, nipah atau daun rumbia. Lantai rumah penduduk Suku Bajo seluruhnya terbuat dari bahan papan kayu bakau yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh untuk dipijak. Kayu papan rumah akan diganti jika kondisinya sudah tidak layak lagi untuk digunakan dan membahayakan bagi penghuni rumah.
![Rumah-rumah panggung suku bajo terbuat dari kayu, daun rumbia, atau daun nipah. (Foto: ANTARA Foto.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-7-2-58bac9a12ab0bda50846aac7.jpg?t=o&v=770)
![Tiang penopang rumah suku bajo laut yang terbuat dari kayu bakau yang menancap ke dalam dasar laut. (Foto: ANTARA Foto.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-3-2-58bac9fe2ab0bd490846aac7.jpg?t=o&v=770)
![Terumbu-terumbu karang muda yang mulai dikerumuni ikan-ikan mungil yang berwarna warni hanya menjadi saksi bisu keberadaan para penghuni rumah-rumah panggung suku bajo. (Foto: ANTARA Foto.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-6-2-58baced913937324096dd072.jpg?t=o&v=770)
![Kampung Bajo dengan jembatan kayu yang menghubungkan dengan perkampungan di daratan. (Foto: bajosulteng.blogspot.co.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-4-1-58bace0b139373a7096dd072.jpg?t=o&v=770)
Suku Penuh Cerita
Kampung Suku Bajo Laut Lukko Siangpiong di Kabupaten Konawe Utara, selalu menyimpan sejuta cerita yang selalu ingin diketahui namun tak juga dapat dimengerti. Banyak orang yang mengatakan bahwa Suku Bajo selalu identik dengan perahu, sebab dahulu mereka hanya tinggal di atas perahu dan berkelana tanpa ada yang tahu keberadaannya dan ke mana mereka pergi.
Pertanda mereka sudah kembali ke rumah-rumah panggung itu adalah kedatangan Soppe sang penghuni. Soppe adalah sebuah perahu sepanjang 8-10 meter yang memiliki atap yang selalu digunakan suku Bajo Laut saat hidup di laut lepas. Jika Soppe datang berati sang penghuni akan segera menjejakkan kakinya kembali di rumah-rumah panggung itu.
![Perahu Soppe yang selalu digunakan suku Bajo Laut saat hidup di laut lepas. (Foto forum.viva.co.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/download-58bacb548e7e61490818d9df.jpg?t=o&v=770)
![Lelaki Suku Bajo bersiap mengarungi lautan dengan Soppe-nya. (Foto: bajosulteng.blogspot.co.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/61944296-sukubajolautlarge-58bacc0c23b0bd2b12cb5a94.jpg?t=o&v=770)
![Seorang wanita tua suku bajo sedang melaut menggunakan Soppe. (paleyphoto.photoshelter.com.)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/016-mm8243-140208-08350-58baccc8cb23bd1f086dc514.jpg?t=o&v=770)
Soal bahasa, selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bugis Sulawesi Selatan. Di saat ada dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka menganggap semua orang sederajat dan tidak mengenal strata sosial dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam kehidupan sehari-hari-pun banyak ritual hidup yang dilakukan di laut oleh suku ini. Sesuai tradisi, setiap bayi Bajo yang lahir, harus dicelupkan ke laut. Tujuannya adalah untuk mengakrabkan mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.
Kemudian semua penduduk Kampung Bajo Laut Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa kewarganegaraan. Namun belakangan ini diketahui, jika kebiasaan hidup berpindah-pindah ini kemudian tergantikan dengan budaya bermukim menetap dengan membangun rumah permanen di atas laut dangkal. Mereka-pun mulai rajin mengumpulkan karang untuk membangun tiang rumah mereka sebagai ganti tiang kayu karena bahan bangunan kayu akan mudah lapuk jika terus terkena air asin laut.
***
Suku Bajo yang lahir dan hidup di atas laut, ataupun di atas pulau-pulau karang, membuat suku ini berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia. Dari situ Suku Bajo mempuyai ketangguhan luar biasa mengarungi lautan, seperti yang digambarkan dalam lirik lagu nusantara di atas. Masyarakat Bajo kadang pun dianggap sebagai bajak laut yang perusak, padahal sebenarnya mereka memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam mengelola ekosistem laut. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantungan terhadap laut belum hilang. Dan mereka amat senang menjalani profesi sebagai nelayan.
![Rumah Bajo Laut, hidup bersebelahan dengan ombak dan ikan-ikan karang, bersentuhan dengan karang dan penghuni menaruh hidupnya di lautan lepas. (Foto: ANTARA Foto.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/04/suku-bajo-2-2-700x400-58bacf9340afbd8a08542aa8.jpg?t=o&v=770)
(Salam akhir pekan Ikhwanul Farissa)