Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelik dan Dilematisnya Penambangan Pasir dan Timah di Indonesia

13 November 2016   20:59 Diperbarui: 13 November 2016   22:30 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nelayan Banten bentangkan spanduk perlawanan pada perahu-perahu mereka. Hal ini wajar karena kegiatan pertambangan pasir laut dirasa telah merenggut wilayah tangkapan ikan masyarakat, sehingga pencari ikan harus lebih jauh mencari buruannya dan menambah beban operasional. (dok beritabanten.co.id)

Ada berita yang mengejutkan terkuak dari sejumlah media. Kabarnya, puluhan juta ton pasir laut telah berpindah ke Singapura. Negara yang dijuluki sebagai Negeri Singa itu tengah gencar merampungkan proyek reklamasi pantai di Changi dan Jurong. Sejak tahun 1970-an, Negara ini sibuk membeli pasir dari Indonesia.

Mereka berani membelinya dengan harga yang tinggi. Akibatnya, beberapa pulau di Indonesia telah rusak berat. Lihat saja Pulau Sebaik di Kepulauan Riau. Pulau itu kini telah kering dan tandus. Sebelumnya, pulau yang memiliki luas wilayah lebih kurang 50 hektar itu dikenal sangat indah. Alam lautnya juga sangat eksotik. Tapi kini, sebagian daratannya telah tenggelam oleh air laut. Karena sebuah perusahaan melakukan penambangan pasir di sekitar pulau itu dan menjualnya ke Singapura.

Pulau Sebaik yang luasnya sekitar 50 Hektare kini kondisinya sudah kering dan tandus. Diperkirakan, puluhan juta ton pasir di pulau tersebut sudah berpindah ke Negeri Singa. Padahal sebelumnya pulau ini sangat indah, (dok metrotvnews.com).
Pulau Sebaik yang luasnya sekitar 50 Hektare kini kondisinya sudah kering dan tandus. Diperkirakan, puluhan juta ton pasir di pulau tersebut sudah berpindah ke Negeri Singa. Padahal sebelumnya pulau ini sangat indah, (dok metrotvnews.com).
Hasilnya luar biasa, luas daratan Singapura kian bertambah secara drastis. Daratan Singapura yang semula hanya 580 kilometer persegi itu kini bertambah sekitar 120 kilometer persegi dari tepi pantai. Dalam hal ini tentu pemerintah Singapura sangat diuntungkan. Luas wilayah darat dan lautnya kian bertambah seiring dengan proyek reklamasi pantai yang dilakukan. 

Sebaliknya, dampak dari penambangan itu justru berujung pada berkurangnya luas wilayah Indonesia. Namun tampaknya pemerintah Indonesia masih tidak begitu mempersoalkan akan hal ini. Kepentingan ekonomi betul-betul telah mengalahkan kepentingan ekologi. Pasalnya, dalam hukum internasional-pun disebutkan, jika suatu wilayah perairan Negara dibatasi sampai 3 mil laut dari bibir pantai. Jika pasir laut di Kepulauan Riau terus diekspor ke Singapura, maka batas wilayah tentu akan bergeser secara perlahan.

Tak hanya di Kepulauan Riau, di Banten persoalan penambangan pasir juga masih ramai diperbincangkan. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Kabupaten Serang telah mengizinkan pengoperasian tambang pasir kepada beberapa perusahaan besar yang didanai oleh pihak asing. Pasirnya juga telah dijual ke Singapura.

Aktivitas penambangan pasir di Serang Banten yang memicu polemik antara pemerintah, masyarakat dan penambang karena menimbulkan kerusakan lingkungan maupun merugikan masyarakat sekitar. (dok Rimanews.com)
Aktivitas penambangan pasir di Serang Banten yang memicu polemik antara pemerintah, masyarakat dan penambang karena menimbulkan kerusakan lingkungan maupun merugikan masyarakat sekitar. (dok Rimanews.com)
Melihat kenyataan seperti ini, akhirnya pemerintah pusat membuat peraturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang larangan ekspor pasir, tanah dan top soil. Meski terkesan terlambat, peraturan tersebut diharapkan dapat meminimalisir kerusakan alam atau lingkungan yang akibatkan penambangan pasir laut dan darat. Namun ternyata peraturan tersebut tidak berjalan mulus dalam pelaksanaannya.

 Sebab, seperti temuan www.dkp.go.id, banyak pengerukan pasir yang dilakukan secara ilegal. Buktinya, belum lama ini kapal TNI Angkatan Laut menangkap belasan kapal tongkang yang memuat pasir yang hendak dibawa ke Singapura. Kapal- kapal itu tidak memiliki izin berlayar dan melakukan penambangan pasir secara ilegal. Persoalan pengerukan pasir ilegal ini, saya pikir sangat penting dilakukan pengamanan ekstra ketat, terutama oleh para marinir-marinir (pleton marinir) untuk ditempatkan di wilayah-wilayah yang rentan terhadap pengerukan pasir, seperti di sekitar perairan Kepulauan Riau, Kabupaten Serang dan lainnya.

Masalah-pun ternyata tidak hanya sampai di situ. Peraturan yang dibuat pemerintah berhadapan dengan keputusan pemerintah daerah setempat. Pasalnya, penambangan pasir itu ternyata menguntungkan daerah. Mereka beranggapan bahwa penambangan pasir dapat meningkatkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD). Lagi-lagi, kepentingan ekonomi telah mengalahkan kepentingan ekologi. Di Riau, pro-kontra di tengah masyarakat masih dan terus bergulir. Sejumlah warga berdemontrasi menuntut pembatalan peraturan larangan tersebut.

Di Serang-Banten juga demikian, pemerintah daerah-nya justru “bermain mata” dalam soal ini. Namun sikap pemerintah setempat tersebut akhirnya dikecam oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di daerah itu. LSM tersebut menuding, jika pemerintah daerah telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan perlunya membuat zonasi atau tata ruang laut terlebih dahulu dan adanya penelitian yang luas dan lengkap untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar. Kawasan Lontar di Serang dalam 10 tahun terakhir telah mengalami abrasi sekitar 500 meter. Dan LSM meminta untuk segera menghentikan yang namanya izin penambangan pasir laut.

Tak hanya persoalan penambangan pasir, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam beberapa tahun terakhir, pertambangan timah tidak lagi hanya didominasi oleh PT. Timah (Persero), Tbk. Namun juga  dilakukan oleh badan usaha berskala menengah, hingga usaha pertambangan timah oleh masyarakat baik secara perorangan maupun berkelompok dengan menggunakan peralatan berteknologi sederhana seadanya. Pertambangan timah skala mikro yang dilakukan oleh masyarakat tersebut merupakan tambang inkonvensional dan banyak diantaranya yang bersifat ilegal.

Lokasi lahan penambangan timah di kepulauan Bangka Belitung. Aktivitas penambangannya telah lama ada dan dilakukan baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat. (dok jurnal3.com)
Lokasi lahan penambangan timah di kepulauan Bangka Belitung. Aktivitas penambangannya telah lama ada dan dilakukan baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat. (dok jurnal3.com)

Pertambangan dan Perekonomian Masyarakat

Menurut sudut pandang ekonomi yang telah mengalahkan sudut pandang ekologi, pertambangan pasir laut dan timah telah memberikan kontribusi positif terhadap angka kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat, seperti yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau, Serang-Banten dan Bangka Belitung. 

Selain itu seperti yang telah dikatakan yakni memberi masukan yang besar bagi PAD di provinsi-provinsi tersebut. Besarnya keuntungan ekonomis yang didapat dari tambang pasir dan timah memancing minat lebih banyak orang untuk turut menikmati hasil serupa, tidak terkecuali anak-anak usia sekolah maupun kaum pendatang. Oleh karenanya, tak heran jika sebagian tempat kadang terlihat anak-anak usia sekolah yang turut serta menambang pasir dan timah di luar jadwal sekolah. Di samping itu kemakmuran yang diperoleh masyarakatnya juga mengundang kaum urban dari berbagai daerah lain di Indonesia.

Naik turun harga jual pasir laut dan timah sangat jelas dampaknya terhadap kesejahteraan keuangan warga masyarakat khususnya di provinsi-provinsi tersebut. Pada saat pasir laut dan timah sedang mengalami kenaikan harga di pasaran terlihat jelas jika perekonomian dan perputaran mata uang sangat cepat dan tinggi. Sebaliknya, di saat harga pasir laut dan timah turun atau melemah, daya beli masyarakat pun ikut menurun.

Namun demikian, meskipun harga timah sedang turun, tetapi penghasilan yang didapat dari menambang timah tetap mampu mencukupi kebutuhan. Kenyataanya, harga timah sendiri lebih sering tinggi hingga menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit. Hal ini tentu menimbulkan dampak yang lebih luas bagi perkembangan gaya hidup masyarakat. Dan pada akhirnya pertambangan timah menjadi mata pencaharian utama serta dianggap sebagai cara yang cepat dan relatif mudah dalam memperoleh uang dan meningkatkan kesejahteraan.

Kemudian besarnya deposit kandungan timah yang masih tersimpan di Bangka Belitung disertai dengan kebijakan pemerintah yang pro-rakyat dengan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk membuka usaha pertambangan maupun pengolahan timah serta biaya operasional yang relatif rendah dengan teknologi sederhana, menyebabkan lonjakan tajam jumlah pertambangan maupun pengolahan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Keadaan ini juga diperparah dengan kenyataan sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, dan merosot-nya harga komoditi perkebunan yang sebelumnya menjadi andalan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat. Sedangkan pada saat yang sama harga jual timah jauh lebih tinggi dengan kapasitas produksi yang besar pula.

Pertambangan Vs Pelestarian Lingkungan

Tingginya permintaan pasar akan bahan tambang yang didukung pula dengan kemajuan teknologi dan mekanisasi peralatan pertambangan telah mengakibatkan meningkatnya skala pertambangan. Dengan menganut sistem open mining (pertambangan terbuka dengan cara menggali lapisan bumi yang mengandung deposit bahan tambang) mengakibatkan semakin luas dan semakin dalamnya lahan yang digali untuk pertambangan tersebut. Secara langsung hal ini akan menimbulkan dampak yang sangat besar dan penting bagi lingkungan. Dan pada akhirnya tentu akan berpengaruh pula terhadap kemampuan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan yang berlangsung sekitarnya.

Tak terkecuali pertambangan pasir laut yang banyak terjadi di wilayah Kepulauan Riau dan Banten. Lalu pertambangan timah yang banyak terdapat di wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Pertambangan pasir laut dan timah sudah dilakukan sejak dulu dan menimbulkan dampak yang telah dirasakan secara langsung oleh masyarakat hingga saat ini. Baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif tentu seperti yang telah diutarakan yakni pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dampak negatif pengaruhnya akan lebih terasa terhadap lingkungan. Penggalian bahan tambang akan memberikan dampak negatif berupa kerusakan pada lingkungan.

Badan PBB yang mengurusi lingkungan hidup yakni UNEP (United Nations Environment Programme) menggolongkan dampak-dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan yakni masalah perlindungan ekosistem/habitat/biodiversity di sekitar lokasi pertambangan, perubahan lanskap, kehilangan penggunaan lahan, stabilisasi site dan rehabilitasi, limbah tambang, kecelakaan/ terjadinya longsoran fasilitas tailing, peralatan yang tidak digunakan, permasalahan emisi udara, debu dan konsumsi energi, perubahan iklim, air tanah dan kontaminasi.

Tidak berbeda dengan jenis pertambangan yang lain, bukankah penambangan pasir laut dan timah akan berdampak buruk pada pengelolaan wilayah, baik pesisir, laut dan darat ? Kita harus mengakui hal ini. Karena kegiatan penambangan pasir laut dan timah jika tidak dilakukan di kawasan atau daerah yang tepat dan dengan dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan, baik fisik, biologi, maupun sosial.

Penambangan pasir laut open mining yang sebagian besar dilakukan di daerah dekat pantai, akan mengganggu stabilitas pantai yang selama ini sebagai penyebab tenggelamnya sebuah pulau. Lebih dari itu, penggalian pasir laut juga dapat berakibat pada perubahan kedalaman laut, perubahan pola arus dan gelombang laut, baik arus yang diakibatkan oleh pasang surut maupun gelombang. Perubahan ini akan memicu seringnya terjadi erosi pantai.

 Dampak lainnya, lereng pantai akan menjadi lebih terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai. Tentu yang akan terkena dampak adalah masyarakat, terutama penduduk yang bermukim di kawasan pesisir, misal para nelayan. Lalu abrasi besar-besaran yang terjadi pada garis pantai juga tentu memiliki kaitan yang erat dengan maraknya kegiatan pertambangan pasir dan timah yang saat ini banyak terjadi.

Lebih jauh mengenai usaha pertambangan timah dengan sistem open mining, dampaknya sungguh besar terkait terjadi banyaknya pembukaan lahan. Pembukaan lahan ini tentu akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan menghasilkan lubang-lubang tambang atau istilahnya kolong dalam bahasa setempat. Rusaknya satu ekosistem tentu akan berdampak pula pada ekosistem yang lain. 

Selain itu kerusakan ekosistem secara berkelanjutan juga akan menyebabkan perubahan iklim, serta mengakibatkan menurun-nya jumlah keanekaragaman hayati (biodiversity) atau kelangkaan flora dan fauna. Dampak-dampak tersebut telah terasa di Kepulauan Bangka Belitung.  Kelangkaan flora dan fauna tersebut selain merugikan biodiversity karena menurun-nya plasma nutfah  juga membuat masyarakat kehilangan manfaat dari flora dan fauna tersebut. Seperti ikan, burung dan berbagai tanaman yang bernilai ekonomis.

Lubang-lubang tambang timah di wilayah Bangka-Belitung yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat (dok blogs.uajy.ac.id)
Lubang-lubang tambang timah di wilayah Bangka-Belitung yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat (dok blogs.uajy.ac.id)
Banyaknya lubang tambang di wilayah Bangka-Belitung juga akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Bukan saja karena kurangnya usaha pemanfaatan lubang-lubang tambang tersebut, tetapi juga karena lubang-lubang tambang itu menjadi tempat perkembangbiakan berbagai jenis nyamuk. 

Meningkatnya populasi nyamuk ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat maupun pemerintah setempat. Pasalnya nyamuk-nyamuk ini merupakan vektor bagi penyakit malaria demam berdarah dan penyakit kaki gajah. Bahkan Bangka merupakan wilayah endemis penyakit malaria, dan lubang-lubang tambang ini turut memperpanjang mata rantai penyebaran penyakit-penyakit ini. Dari segi kesehatan masyarakat, selain menimbulkan berbagai penyakit secara tidak langsung, pertambangan timah juga menyebabkan perubahan kondisi air tanah dan menimbulkan masalah karena pembuangan tailing.

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.

Masalah pembuangan tailing ini semakin pelik bila pertambangan timah dilakukan di laut (off shore mining). Pembuangan tailing ini dengan metode apapun tetap akan menyebabkan peningkatan kekeruhan. Semakin kuat arus laut, penyebaran tailing ini akan semakin luas dan pada akhirnya akan menimbulkan sedimentasi pada terumbu karang dan mangrove. Semakin besar ombak akan membawa limbah tailing ini menyebar lebih jauh sehingga sedimentasi yang dihasilkan semakin sulit dikendalikan. 

Akibatnya pun dapat ditebak, sedimentasi pada terumbu karang dan hutan mangrove akan merusak perkembangbiakan biota laut lainnya. Sedangkan kita tahu, keberadaan biota laut ini juga merupakan sumber pencaharian bagi nelayan dan juga sumber protein hewani yang tidak habis-habisnya bagi masyarakat. Sedimentasi yang terjadi besar-besaran di laut seputar wilayah Bangka dan Belitung, secara signifikan menurunnya jumlah tangkapan nelayan. Sehingga tak heran, meskipun dikelilingi laut yang luas, harga komoditi sumber hewani laut di Bangka Belitung tetap tinggi dibanding daerah-daerah lain.

Bila pembuangan tailing ini dilakukan di sungai, maka akan mengakibatkan pendangkalan sungai. Di Bangka Belitung sendiri sekarang sudah jarang ditemui sungai yang dalam dan berair jernih. Sebagian besar sungai terlihat keruh berwarna kecoklatan atau kehitaman, karena kandungan lumpur dari buangan tailing yang tinggi. Namun demikian tak jarang aliran sungai ini tetap dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan MCK sehari-hari. Sedimentasi ini turut- berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas air permukaan di sekitar wilayah pertambangan itu sendiri. Bukan hanya di sungai, pendangkalan ini juga terjadi di pantai dan hutan mangrove.

Untuk  meninimalisir dampak-dampak tersebut, sudah menjadi kewajiban perusahaan penambang untuk melakukan berbagai upaya, terutama peningkatan kesadaran para pemilik modal akan pentingnya lingkungan bagi kelangsungan hidup masyarakat banyak. Karena peningkatan kesadaran ini, akan diikuti oleh upaya-upaya lain seperti reklamasi revegatasi dan rehabilitasi. Pada penambangan timah, upaya reklamasi, revegatasi dan rehabilitasi amat perlu dilakukan. 

Pada tambang di darat dapat dilakukan dengan menanam tumbuhan untuk mengembalikan kondisi lahan seperti semula. Sebagai tannaman perintis, maka untuk reklamasi perlu dipilih tanaman yang dianggap mampu bertahan dengan keadaan lahan bekas pertambangan yang kritis dan miskin hara, seperti tanaman Akasia. Sedangkan upaya reklamasi, revegatasi dan rehabilitasi pada tambang laut dapat dilakukan dengan melakukan transplantasi terumbu karang yang diharapkan akan mampu mengembalikan ekosistem laut seperti sedia kala. Upaya reklamasi, revegatasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang, baik di darat maupun di laut, juga menjadi salah satu upaya penanganan tailing dan limbah lainnya yang berwawasan lingkungan.

Selain karena tumbuh-nya kesadaran para pemilik modal atau pengusaha pertambangan, hal ini juga ditekankan daam pasal 98 dan pasal 99 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambnagan Mineral dan batubara.

Pertambangan dan Konflik di Sekitarnya

Jika ada dampak pasti akan ada konflik. Tak jarang potensi konflik di pertambangan kerap terjadi. Seperti pada pertambangan pasir laut dan timah, yang disebabkan karena perebutan lahan tambang diantara kelompok-kelompok penambang. Mengingat kelompok-kelompok ini biasanya melakukan penambangan secara ilegal, yang mana tidak ada pembagian dan penetapan wilayah penambangan yang jelas diantara mereka. Kemudian cara kerja kelompok-kelompok penambang skala kecil ini yang berpindah-pindah tanpa memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang tepat, menyebabkan konflik perebutan lahan pertambangan menjadi kasus yang banyak terjadi.

Selain itu para penambang yang sebagian besar ilegal ini seringklai menambang di sembarang tempat, bahkan di tempat-tempat yang dilindungi dan dilarang untuk di tambang. Misalnya di kawasan lindung, sepadan pantai, sepadan sungai hingga pemukiman masyarakat. Sehingga tak jarang terjadi kericuhan antara para penambang ilegal dengan aparat yang ingin menertibkan.  Kejadian seperti ini tentu akan menimbulkan ketegangan dan kecemasan masyarakat di sekitarnya, dan sangat memungkinkan menjadi konflik yang serius.

Konflik seputar lahan pertambangan tidak hanya terjadi diantara para kelompok penambang saja. Namun pembagian hak guna lahan yang kadang rancu, juga terjadi antara badan usaha pertambangan dengan masyarakat maupun badan usaha lainnya. Misalnya tumpang tindih hak guna lahan antara perusahaan pertambangan dengan perusahaan lainnya. Adakalanya juga ditemukan kasus perebutan hak guna lahan. Namun yang lebih pelik jika perebutan lahan juga terjadi antara pihak pengusaha pertambangan dengan masyarakat.

Pertambangan laut pun tak jarang mengalami konflik. Konflik yang terjadi pada pertambangan pasir laut dan timah di laut biasanya terjadi karena perbedaan kepentingan antara nelayan dengan pengusaha pertambangan. Seperti yang telah diutarakan, dampak negatif dari pertambangan ini adalah kerusakan pada ekositem pantai seperti pada hutan mangrove dn terumbu karang, yang menyebabkan berkurangnya habitat biota laut, sehingga jumlah dan jenis biota laut akan menurun. 

Penurunan jumlah dan jenis biota laut ini akan berdampak pula pada menurun-nya jumlah tangkapan para nelayan yang berarti mengurangi pendapatan para nelayan yang selama ini bergantung pada hasil laut. Banyaknya kapal keruk maupun kapal isap yang beroperasi di laut, dan ditambah dengan para penambang ilegal yang jumlahnya tak sedikit, tentu akan menurunkan pendapatan para nelayan. Perbedaan kepentingan terhadap sumber daya laut inilah yang menimbulkan konflik diantara kelompok nelayan dengan para penambang.

Kapal Keruk Vox MaximaDi wilayah Provinsi Banten(dok VerbumNews.com)
Kapal Keruk Vox MaximaDi wilayah Provinsi Banten(dok VerbumNews.com)
Nelayan Banten bentangkan spanduk perlawanan pada perahu-perahu mereka. Hal ini wajar karena kegiatan pertambangan pasir laut dirasa telah merenggut wilayah tangkapan ikan masyarakat, sehingga pencari ikan harus lebih jauh mencari buruannya dan menambah beban operasional. (dok beritabanten.co.id)
Nelayan Banten bentangkan spanduk perlawanan pada perahu-perahu mereka. Hal ini wajar karena kegiatan pertambangan pasir laut dirasa telah merenggut wilayah tangkapan ikan masyarakat, sehingga pencari ikan harus lebih jauh mencari buruannya dan menambah beban operasional. (dok beritabanten.co.id)
Meskipun konflik-konflik seperti ini belum berujung pada kerusuhan, konflik massa, hingga menimbulkan korban jiwa, namun kejadian-kejadian seperti ini tentu bukan sesuatu yang diharakan dan terus terjadi.

Mengingat adanya peningkatan perebutan dan tumpang tindih hak guna lahan, maka sangat penting untuk dipikirkan solusi dari permasahan ini secara bersama-sama oleh berbagai pihak termasuk pemerintah daerah, para pemilik usaha pertambangan dan masyarakat.

Solusi: Penanganan Konflik Pertambangan Dengan Kebijakan Pemerintah

Jika dicermati, konflik yang banyak muncul pada usaha pertambangan baik di darat maupun di laut, khususnya pertambangan pasir dan timah, sebagian besar berkaitan dengan izin pemanfaatan lahan/lokasi pertambangan maupun tumpang tindih penggunaan lahan. Karena memang pada pertambangan apapun yang dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum, tentu harus ada sederetan perizinan yang harus dipenuhi sebelum melakukan usaha pertambangan. 

Bentuk perizinan yang diperlukan antara lain, izin kelayakan lingkungan yang diperoleh bila perusahaan telah menyusun dokumen lingkungan dan telah disahkan. Dokumen lingkungan itu berupa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan atau Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) maupun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH). Dalam dokumen lingkungan tersebut didata dan dipelajari mengenai dampak besar dan penting yang mungkin ditimbulkan dari usaha pertambangan yang dilakukan. Selain itu juga dicantumkan usaha dan rencana tindak untuk meminimalisir dampak yang mungkin tersebut.

Salah satu isu yang sering dibicarakan dalam penyusunan dokumen lingkungan adalah penanganan terhadap konflik penggunaan lahan terhadap perlindungan lingkungan.  Dalam dokumen lingkungan yang dibuat oleh pemilik usaha pertambangan dijelaskan secara mendetail mengenai penaganan konflik lahan sejak pembebasan lahan yang akan digunakan, maupun penaganan permasalahan yang menyangkut konflik kepentingan dengan masyarakat, misal para nelayan pada usaha tambang pasir laut dan timah. 

Solusi -solusi yang dibuat dalam dokumen lingkungan untuk mengatasi kemungkinan konflik yang akan muncul harus bersifat win-win solution sehingga tidak terlalu memberatkan pengusaha, namun juga tidak merugikan masyarakat yang terkena dampak. Dengan demikian penataan terhadap peraturan-peraturan dan komitmen pihak pengusaha pertambangan dalam melaksanakan isi dari dokumen lingkungan merupakan langkah awal dari pemerintah untuk mengawal dan mencegah sedini mungkin konflik yang mungkin terjadi, sekaligus merupakan ancang-ancang rencana tindakan bila konflik tersebut benar-benar terjadi. Kesesuaian pelaksanaan dokumen lingkungan ini juga harus dipantau oleh dinas/badan pemerintah terkait sesuai dengan bidangnya.

Selain dokumen lingkungan, bentuk perizinan lain yang harus dimiliki oleh badan usaha pelaku pertambangan adalah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memadai dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dan elemen masyarakat. Dengan RTRW yang jelas dan aspiratif, tentu secara gamblang dapat ditentukan wilayah-wilayah yang menjadi lokasi pertambangan di darat dan di laut, serta wilayah-wilayah untuk usaha yang lain. Namun harus disadari pula jika penyusunan Peraturan Daerah (Perda) mengenai RTRW tidaklah mudah yang dikira, terlebih Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Banten yang kian maju dengan pesat sebelum Perda RTRW  selesai digodok. Sehingga daerah-daerah ini sudah terlanjur berkembang sekalipun tanpa panduan dari RTRW. Namun begitu, tetap diharapkan penyusunan RTRW yang terus diupayakan pihak legislatif akan mampu mengakomodir kebutuhan berbagai pihak.

Penataan dokumen lingkungan yang dibuat dan disepakati oleh pengusaha pertambangan, dan pembagian peruntukan wilayah sesuai RTRW,  diharapkan akan mampu mencegah dan meminimalisir konflik yang timbul  akibat dari usaha pertambangan. Namun jika konflik tetap saja terjadi, tentu pemerintah dan pihak berwajib harus secepatnya turun tangan untuk mencegah konflik agar tidak semakin meluas.

Solusi: Belajar dan Langkah Bijak

Sejak beberapa tahun terakhir ini, kita tahu Indonesia masih belum bebas dari berbagai bencana alam. Bencana datang kian silih berganti. Selesai satu, muncul lagi yang lainnya. Sudah seharusnya kita belajar dari pengalaman yang telah terjadi. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja bencana lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, yang diakibatkan oleh eksploitasi minyak dan gas alam secara berlebihan oleh manusia, sehingga alam pun menjadi murka. Sudah sekian lama bencana itu tak jua tertangani. Korban harta benda sudah tak terhitung lagi. Lantas, akankah dan perlukah kita harus menanggung beban yang lebih berat dari itu?

Karena itu, pelestarian dan penyelamatan lingkungan adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Semua orang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam, terutama pemerintah. Sebab pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam mengemban amanah rakyat untuk menjaga alam atau lingkungan hidup. Sementara rakyat atau masyarakat juga berkewajiban untuk mencegah, mengingatkan, memelihara dan memberikan keteladanan yang baik dalam pelestarian lingkungan hidup, terutama sebelum bencana akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan alam itu terjadi.

Persoalan penambangan pasir dan timah, baik di  laut dan darat memang cukup pelik dan dilematis. Tapi Mengeksploitasi alam secara berlebihan tentu bukan langkah yang bijak, walaupun izin telah dikantongi. Karena mengeksploitasi alam berlebihan akan berakibat fatal pada kelangsungan hidup umat manusia di bumi pertiwi ini. Kalimat terakhir ini mengingatkan saya akan penggalan lirik lagu yang ditulis oleh Ismail Marzuki berikut ini;

“Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati….”

“Air matanya berlinang, mas intan yang kau kenang….”

“Hutan sawah gunung lautan, simpanan kekayaaan….”

“Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa…..”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun