Solusi -solusi yang dibuat dalam dokumen lingkungan untuk mengatasi kemungkinan konflik yang akan muncul harus bersifat win-win solution sehingga tidak terlalu memberatkan pengusaha, namun juga tidak merugikan masyarakat yang terkena dampak. Dengan demikian penataan terhadap peraturan-peraturan dan komitmen pihak pengusaha pertambangan dalam melaksanakan isi dari dokumen lingkungan merupakan langkah awal dari pemerintah untuk mengawal dan mencegah sedini mungkin konflik yang mungkin terjadi, sekaligus merupakan ancang-ancang rencana tindakan bila konflik tersebut benar-benar terjadi. Kesesuaian pelaksanaan dokumen lingkungan ini juga harus dipantau oleh dinas/badan pemerintah terkait sesuai dengan bidangnya.
Selain dokumen lingkungan, bentuk perizinan lain yang harus dimiliki oleh badan usaha pelaku pertambangan adalah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memadai dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dan elemen masyarakat. Dengan RTRW yang jelas dan aspiratif, tentu secara gamblang dapat ditentukan wilayah-wilayah yang menjadi lokasi pertambangan di darat dan di laut, serta wilayah-wilayah untuk usaha yang lain. Namun harus disadari pula jika penyusunan Peraturan Daerah (Perda) mengenai RTRW tidaklah mudah yang dikira, terlebih Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Banten yang kian maju dengan pesat sebelum Perda RTRW selesai digodok. Sehingga daerah-daerah ini sudah terlanjur berkembang sekalipun tanpa panduan dari RTRW. Namun begitu, tetap diharapkan penyusunan RTRW yang terus diupayakan pihak legislatif akan mampu mengakomodir kebutuhan berbagai pihak.
Penataan dokumen lingkungan yang dibuat dan disepakati oleh pengusaha pertambangan, dan pembagian peruntukan wilayah sesuai RTRW, diharapkan akan mampu mencegah dan meminimalisir konflik yang timbul akibat dari usaha pertambangan. Namun jika konflik tetap saja terjadi, tentu pemerintah dan pihak berwajib harus secepatnya turun tangan untuk mencegah konflik agar tidak semakin meluas.
Solusi: Belajar dan Langkah Bijak
Sejak beberapa tahun terakhir ini, kita tahu Indonesia masih belum bebas dari berbagai bencana alam. Bencana datang kian silih berganti. Selesai satu, muncul lagi yang lainnya. Sudah seharusnya kita belajar dari pengalaman yang telah terjadi. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja bencana lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, yang diakibatkan oleh eksploitasi minyak dan gas alam secara berlebihan oleh manusia, sehingga alam pun menjadi murka. Sudah sekian lama bencana itu tak jua tertangani. Korban harta benda sudah tak terhitung lagi. Lantas, akankah dan perlukah kita harus menanggung beban yang lebih berat dari itu?
Karena itu, pelestarian dan penyelamatan lingkungan adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Semua orang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam, terutama pemerintah. Sebab pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam mengemban amanah rakyat untuk menjaga alam atau lingkungan hidup. Sementara rakyat atau masyarakat juga berkewajiban untuk mencegah, mengingatkan, memelihara dan memberikan keteladanan yang baik dalam pelestarian lingkungan hidup, terutama sebelum bencana akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan alam itu terjadi.
Persoalan penambangan pasir dan timah, baik di laut dan darat memang cukup pelik dan dilematis. Tapi Mengeksploitasi alam secara berlebihan tentu bukan langkah yang bijak, walaupun izin telah dikantongi. Karena mengeksploitasi alam berlebihan akan berakibat fatal pada kelangsungan hidup umat manusia di bumi pertiwi ini. Kalimat terakhir ini mengingatkan saya akan penggalan lirik lagu yang ditulis oleh Ismail Marzuki berikut ini;
“Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati….”
“Air matanya berlinang, mas intan yang kau kenang….”
“Hutan sawah gunung lautan, simpanan kekayaaan….”
“Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa…..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H