Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sisi Buruk dan Sisi Indah Pernikahan Dini

30 Agustus 2016   21:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   09:16 5865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, tren menikah muda cukup marak di masyarakat kita, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa/wi. Keputusan mereka yang memilih menikah di usia muda memang dapat dikatakan berani. Mengingat mereka belum berusia matang dan mungkin terbilang belum cukup mapan, tetapi memiliki keinginan kuat untuk melabuhkan cinta sejati mereka dalam mahligai perkawinan dengan niat menghindar dari perbuatan dosa seperti pergaulan bebas ataupun seks bebas.

Tren menikah muda ini mengingatkan saya akan sepenggal sebuah lirik lagu yang dipopulerkan oleh Agnes Monica;

“Pernikahan dini…''

“Bukan cintanya yang terlarang''

“Hanya waktu saja belum tepat''

“Merasakan semua...''

 “Pernikahan Dini…''

“Sebaiknya janganlah terjadi''

“Namun putih cinta membuktikan''

“Dua insan tak dapat dipisahkan...''

Timbul pertanyaan, benarkah pernikahan dini memiliki sisi indah yang lebih besar di banding sisi buruknya?

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilangsungkan saat anak masih di bawah usia 18 tahun. Hal ini mengacu pada Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). Sebenarnya, jauh sebelum budaya pergaulan bebas merajalela, praktik nikah dini dalam tradisi masyarakat Indonesia sudah lama berlangsung sejak zaman nenek moyang dahulu kala. 

Hingga memasuki abad millennium ini, pernikahan dini masih menjadi semacam tradisi yang tidak pernah pupus. Dari situ, ternyata kawin di usia muda melahirkan persepsi yang berbeda-beda dari setiap individu, tergantung latar belakang, visi dam misi masing-masing orang.

Sisi Buruk Pernikahan Dini

Indonesia telah lama mencanangkan program millennium development goals (MDGs) untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Target dari MDGs antara lain: Penghapusan kemiskinan, Pencapaian sekolah dasar 9 tahun, Meningkatkan keadilan,  kesejahteraan gender, dan pemberdayaan perempuan, mengurangi kematian bayi dan anak, meningkatkan kesehatan ibu termasuk mengurangi angka kematian ibu hamil, bersalin dan nifas. Praktik pernikahan dini diperkirakan target MDGs tersebut bakal terhambat atau sulit tercapai. Karena dalam target atau program MDGs telah jelas menyebutkan Indonesia akan menghapus kemiskinan.

Biasanya pernikahan dini banyak terjadi pada orang-orang yang penghasilannya relatif rendah. Jika kemudian menikah, belum mempunyai penghasilan apa-apa atau penghasilan tetap untuk membiayai kehidupan rumah tangga, dan kemudian  menggantungkan pada orang tua, bukankah keluarga itu tambah menjadi miskin! Sehingga tujuan untuk menghapus kemiskinan itu akan mengalami hambatan. Jadi kalau kita dapat meningkatkan usia perkawinan dan ketika menikah sudah mempunyai pekerjaan, maka itu akan mengurangi angka kemiskinan.

Persoalan penting berikutnya adalah kematian ibu. Salah satu penyebab terbesar kematian ibu terutama di Indonesia adalah kehamilan di usia dini. Indonesia termasuk Negara yang  tinggi akan kasus ini. Perempuan dengan usia di bawah 20 tahun yang mengalami kehamilan kemudian melahirkan, maka resiko kematian ibu menjadi lebih tinggi dibanding dengan perempuan usia ideal. 

Demikian juga dengan bayi yang dikandung akan mengalami perkembangan yang kurang bagus dibandingkan jika perempuan itu hamil dalam umur ideal. Jadi kepada mereka yang memang tidak dapat mneghindari perkawinan dini, kita mengharapkan mereka menunda kehamilannya. Apalagi menunda perkawinan pada usia dini, akan menurunkan angka kematian ibu pada waktu melahirkan.

Terkait  perempuan yang nikah muda, dr. Ridwan NA, Sp.OG salah seorang dokter spesialis kandungan dan kebidanan yang saya temui di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh mengatakan “secara psikologis dan fisik, para perempuan pada usia dini yang hamil itu belum siap ataupun matang. Tubuhnya belum siap ataupun belum bisa untuk mengandung, yang disebabkan panggul perempuan itu belum tumbuh sempurna sehingga akan mengganggu kesehatan reproduksinya. 

Yang mana sering terjadi komplikasi akibat kehamilan, kesulitan persalinan dan Rahim yang tidak bisa berkontraksi dengan sempurna. Secara mental, masih membutuhkan bimbingan dan lain-lain karena mereka cenderung belum siap jadi ibu, menyusui, merawat dan membesarkan anak. Sehingga ketika hamil dan mempunyai anak, menjadi tidak peduli terhadap dan kehamilan dan anaknya. Sehingga anak yang lahir tidak dapat di persiapkan menjadi generasi yang baik. Jadi yang sehat itu hamil di usia di atas dua puluh tahun.”

“Bila kehamilan wanita di usia dua puluh tahun ke atas, sebaiknya diperiksa sebulan sekali. Dan untuk usia di bawah itu, pemeriksaannya harus lebih cepat yakni setiap dua minggu sekali sebagai antisipasi kemungkinan persalinan tidak normal,” imbuhnya seraya menambahkan

Untuk para lelaki menurut saya juga mempunyai dampak. Saya sebagai seorang lelaki dapat merasakan dampak dari pernikahan dini tersebut. Secara psikologis, laki-laki yang nikah dini  barangkali belum tahu tahu secara baik akan hakikat dan tujuan berkeluarga serta bagaimana tanggung jawab sebagai suami ataupun sebagai pemimpin keluarga. Secara sosial, umumnya mereka belum memiliki penghasilan tetap untuk membiayai kehidupan rumah tangga. Hal-hal di atas tentu akan memicu terjadinya perceraian.

Pernikahan yang dilaksanakan saat usia ideal juga bisa mendapatkan kepuasan psikologis dari hubungan tersebut (dok pri).
Pernikahan yang dilaksanakan saat usia ideal juga bisa mendapatkan kepuasan psikologis dari hubungan tersebut (dok pri).
Persoalan berikutnya adalah dari segi pendidikan. Biasanya perkawinan dini dipraktikkan di masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Rata-rata dari mereka yang terlanjur kawin dini tidak menamatkan sekolahnya. Bahkan ada dari mereka yang tidak berkesempatan mengenyam dunia pendidikan. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan. 

Saya pikir sudah waktunya ada kesetaraan pendidikan ataupun keseteraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dan di era modern seperti sekarang, mungkin nikah dini sudah tidak relevan lagi. Hilangnya kesempatan pendidikan itu sama saja dengan hilangnya kesempatan untuk mengembangkan diri ataupun karir di masyarakat.

Saya sebagai penulis menganggap perlu peningkatan usia perkawinan minimal sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan, yang mana usia perkawinan minimal 20 tahun untuk perempuan dan 22-25 tahun bagi laki-laki. Dengan usia itu, mereka pasti sudah siap memasuki yang namanya gerbang pernikahan, dan juga siap untuk hamil, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak, sehingga perceraian pun akan jarang terjadi.

Pernikahan yang dilaksanakan saat usia ideal tentu akan dapat membangun rumah tangga yang lebih baik sehingga tidak terjadi yang namanya perceraian (dok pri).
Pernikahan yang dilaksanakan saat usia ideal tentu akan dapat membangun rumah tangga yang lebih baik sehingga tidak terjadi yang namanya perceraian (dok pri).

Sisi Indah Pernikahan Dini

Sisi lain nikah muda, terkadang tidak selalu menampakkan kisah-kisah suram. Sebaliknya, banyak pasangan muda yang justru terangkat jadi orang sukses dam mampu mengukir indah kisah rumah tangganya.

Menurut saya kesuraman pernikahan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya, tidak adanya orientasi yang kuat dalam menikah, niat yang keliru dalam memilih pasangan dan alasan yang salah dalam menikah.

Dalam lintas sejarah islam, kisah indah rumah tangga ini sudah pernah ditunjukkan oleh baginda Nabi kita Muhammad SAW saat beliau menikahi Aisyah ketika usia 9 tahun, tetapi hubungan seksual suami istri dilaksanakan ketika Aisyah telah haid di usia 12 tahun. Penikahan Aisyah dengan sang nabi ini dalam kenyataannya aman saja meski di usia dini, karena faktor keturunan atau fisik perempuan Arab saat itu sudah siap di usia tersebut.

Namun kini, di negara-negara Arab atau Timur Tengah praktik nikah dini sudah kurang populer. Penundaan nikah dini ini umumnya dikarenakan persoalan mahar yang berlaku di Timur Tengah sangat tinggi. Sehingga kawula muda di sana butuh persiapan yang cukup memadai, terutama dari aspek kemampuan materi.

Agama Islam memandang seseorang sudah dewasa tidak hanya dengan ukuran usia, melainkan dengan tanda-tandanya. Dewasa dapat diukur dengan tiga pendekatan. Pertama dewasa biologis, yang ditandai dengan mimipi basah pada laki-laki dan haid bagi perempuan. Kedua dewasa pemikiran, yang ditandai dengan kematangan berfikir tengang masa depan. Ketiga dewasa fisik, yang ditandai dengan sempurnanya perkembangan tubuh seseorang.

Dlam sebuah Hadist nabi  dikatakan kriteria utama dalam menikah adalah adanya ‘Ba’ah’ (kemampuan). ‘Ba’ah’mengandung dua penegrtian. Pertama kemampuan bersetubu (jima’). Kedua, kemampuan ekonomi, menafkahi dan finansial. Tidak ada ulama yang memamami kata ‘ba,ah’ dengan menentukan batas usia tertentu.

Sepertinya tidak ada hambatan berarti untuk sebuah cita-cita luhur menyegerakan sunnah nabi, asal punya kemampuan meski usia tergolong masih dini. Sebab itu, kesiapan menikah sebenarnya mengacu pada 3 (tiga) jenis  kedewasaan  yang saya sebutkan diatas.

Contoh di era sekarang, pernikahan putra ustadz Arifin Ilham, Muhammad Alvin dengan Larissa Chou. Alvin menikah di usianya yang baru menginjak 17 tahun, sedangkan Larissa berusia 2 tahun lebih tua, yakni 19 tahun. Menurut para psikolog, pernikahan mereka dapat dikatakan sebagai pernikahan dini, karena di usia tersebut, kematangan fisik, emosi, dan psikologi belum berkembang dengan baik.

Nikah dini yang dilakukan oleh putra ustat Arifin Ilham, Muhammad Alvin yang menikah di usia 17 tahun dengan seorang wanita yang berusia 2 tahun lebih tua yang bernama Larissa (www.huntnews.id).
Nikah dini yang dilakukan oleh putra ustat Arifin Ilham, Muhammad Alvin yang menikah di usia 17 tahun dengan seorang wanita yang berusia 2 tahun lebih tua yang bernama Larissa (www.huntnews.id).
Dalam pandangan Islam, nikah dini sebenarnya bukan sebuah masalah. Karena sejatinya pernikahan bermanfaat untuk membentengi diri terutama dari penyimpangan seksual. Apalagi godaan yang membangkitkan gairah bertebaran di mana- mana. Maka pijakan nikah dini adalah karena idealisme dan bukan semata bertolak pada alasan penyimpangan seksual, seks bebas, menghindari pacaran dan hal-hal lainnya. 

Jika menikah dini cuma untuk mendapatkan seks, maka saya yakin pernikahan itu vitalitasnya akan rapuh. Dan kelak akan meninggalkan luka yang amat dalam. Seks tidak perlu diimpi-impikan, bukankah dengan menikah urusan seks akan diperoleh juga! Justru visi besarlah yang harus dipersiapkan dan ditanamkan bagi para calon pengantin muda. Orang-orang hebat melaksanakan sesuatu berlandaskan tujuan yang kuat,supaya pernikahannya terarah.

Salah seorang tetangga saya (tengku Abdullah) yang berprofesi ustadz yang melakukan nikah dini mengatakan, “niat saya nikah dini karena saya berharap pada usia 40 tahun dapat memenuhi amanah Allah dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15. Dalam ayat tersebut Allah menghendaki kita mapan dalam beberapa segi pada usia 40 tahun. Kemapanan itu antara lain mempersiapkan keturunan, berbakti kepada orang tua, urusan finansial maupun soal orientasi hidup,” ujarnya mantap.

Lebih lanjut ustadz yang akrab sapa Teungku Bolah yang juga bekerja di Departemen Agama Aceh Barat ini berbagi cerita. “Saya menikah saat kuliah, ketika wisuda anak saya sudah dua. Istri saya saat wisuda S-1 dalam kondisi hamil muda anak kedua. Jadi saya menjalani, mengalami dan memecahkan masalah bagaimana menegakkan pernikahan idealis dan visioner sembari menimba ilmu S-1 di bangku kuliah. Saya merasakan keduanya saling mendukung. Karena itu, saya lebih positif memandang pernikahan dini. Itu pula sebabnya saya lebih mudah menerima teori maupun hasil riset yang menunjukkan keutamaan nikah dini,” terangnya bercerita.

Saat saya menyinggung mengenai tingginya angka perceraian saat ini, beliau berpendapat bahwa “perceraian disebabkan karena menikah tanpa ilmu sehingga tidak tahu tugas dalam rumah tangga maupun sebagai orang tua. Dan saya yakin pernikahan dini yang dilakukan karena alasan yang benar dan untuk tujuan yang besar dan mulia, akan lebih membahagiakan dan kuat, takkan ada yang namanya perceraian,” ungkap sang ustadz mengakhiri perbincangan santai sore itu.

***

Tips agar langgeng dalam pernikahan meskipun dimulai di usia muda

  • Tau porsi masing-masing, misalnya suami menafkahi dan bertanggung jawab atas keluarga. Istri mendampingi suami dan memberikan perhatian serta kasih sayang.
  • Sebagai suami, janganlah otoriter. Begitu juga istri jangan terlalu banyak menuntut.
  • Baik suami dan istri, hendaknya mengesampingkan ego pribadi. Apapun yang sedang dan akan terjadi dalam rumah tangga, anak-anak dan keluarga adalah yang terpenting dan paling berharga.
  • Kesetiaan dan kepercayaan terhadap pasangan, menjadi hal yang mendasari kehidupan berumah tangga.
  • Dan yang paling utama adalah tetap tawakal pada Allah SWT.

***

Tidak baik juga kalau muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap praktik pernikahan dini. Sebab, sudah banyak contoh dari mereka yang nikah dini atau nikah muda yang sukses hidupnya, terutama karena mereka menerapkan tips yang saya sebutkan di atas. Sebaliknya, tidak sedikit dari mereka yang menikah di usia tua justru kemudian rumah tangganya berantakan. 

Jadi buat saya nikah dini itu bagus, sah-sah saja, dan tepat sebagai pilihan, daripada pacaran yang kebablasan ataupun seks bebas. Namun tetap memperhatikan dan membutuhkan persiapan yang ekstra baik secara fisik, mental dan sosial serta siap menghadapi berbagai kesulitan hidup ataupun resiko yang mungkin terjadi. Saya juga ingin segera menikah, asal kami saling jatuh cinta, he,,he,,he,,.!

Bagaimana pun perkawinan ideal itu ada pada usia 20 -35 tahun. Jika ditakar antara indah dan buruknya dari pernikahan dini, mungkin akan lebih banyak sisi buruknya terutama bagi anak perempuan. Sebab, langkah aman menuju jenjang perkawinan, seorang perempuan harus mencapai tingkat kematangan biologis dan kesiapan mental. Dan dalam skala besar pernikahan dini akan berdampak buruk bagi pembangunan manusia (human development). Alasanya, semua ini mengakibatkan rendahnya kualitas hidup dari bangsa Indonesia, terutama kualitas hidup perempuan Indonesia.

Twitter dan Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun