Saya pikir sudah waktunya ada kesetaraan pendidikan ataupun keseteraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dan di era modern seperti sekarang, mungkin nikah dini sudah tidak relevan lagi. Hilangnya kesempatan pendidikan itu sama saja dengan hilangnya kesempatan untuk mengembangkan diri ataupun karir di masyarakat.
Saya sebagai penulis menganggap perlu peningkatan usia perkawinan minimal sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan, yang mana usia perkawinan minimal 20 tahun untuk perempuan dan 22-25 tahun bagi laki-laki. Dengan usia itu, mereka pasti sudah siap memasuki yang namanya gerbang pernikahan, dan juga siap untuk hamil, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak, sehingga perceraian pun akan jarang terjadi.
Sisi Indah Pernikahan Dini
Sisi lain nikah muda, terkadang tidak selalu menampakkan kisah-kisah suram. Sebaliknya, banyak pasangan muda yang justru terangkat jadi orang sukses dam mampu mengukir indah kisah rumah tangganya.
Menurut saya kesuraman pernikahan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya, tidak adanya orientasi yang kuat dalam menikah, niat yang keliru dalam memilih pasangan dan alasan yang salah dalam menikah.
Dalam lintas sejarah islam, kisah indah rumah tangga ini sudah pernah ditunjukkan oleh baginda Nabi kita Muhammad SAW saat beliau menikahi Aisyah ketika usia 9 tahun, tetapi hubungan seksual suami istri dilaksanakan ketika Aisyah telah haid di usia 12 tahun. Penikahan Aisyah dengan sang nabi ini dalam kenyataannya aman saja meski di usia dini, karena faktor keturunan atau fisik perempuan Arab saat itu sudah siap di usia tersebut.
Namun kini, di negara-negara Arab atau Timur Tengah praktik nikah dini sudah kurang populer. Penundaan nikah dini ini umumnya dikarenakan persoalan mahar yang berlaku di Timur Tengah sangat tinggi. Sehingga kawula muda di sana butuh persiapan yang cukup memadai, terutama dari aspek kemampuan materi.
Agama Islam memandang seseorang sudah dewasa tidak hanya dengan ukuran usia, melainkan dengan tanda-tandanya. Dewasa dapat diukur dengan tiga pendekatan. Pertama dewasa biologis, yang ditandai dengan mimipi basah pada laki-laki dan haid bagi perempuan. Kedua dewasa pemikiran, yang ditandai dengan kematangan berfikir tengang masa depan. Ketiga dewasa fisik, yang ditandai dengan sempurnanya perkembangan tubuh seseorang.
Dlam sebuah Hadist nabi  dikatakan kriteria utama dalam menikah adalah adanya ‘Ba’ah’ (kemampuan). ‘Ba’ah’mengandung dua penegrtian. Pertama kemampuan bersetubu (jima’). Kedua, kemampuan ekonomi, menafkahi dan finansial. Tidak ada ulama yang memamami kata ‘ba,ah’ dengan menentukan batas usia tertentu.
Sepertinya tidak ada hambatan berarti untuk sebuah cita-cita luhur menyegerakan sunnah nabi, asal punya kemampuan meski usia tergolong masih dini. Sebab itu, kesiapan menikah sebenarnya mengacu pada 3 (tiga) jenis  kedewasaan  yang saya sebutkan diatas.
Contoh di era sekarang, pernikahan putra ustadz Arifin Ilham, Muhammad Alvin dengan Larissa Chou. Alvin menikah di usianya yang baru menginjak 17 tahun, sedangkan Larissa berusia 2 tahun lebih tua, yakni 19 tahun. Menurut para psikolog, pernikahan mereka dapat dikatakan sebagai pernikahan dini, karena di usia tersebut, kematangan fisik, emosi, dan psikologi belum berkembang dengan baik.