Mohon tunggu...
Ikhwan Prasetiyo
Ikhwan Prasetiyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa, concern terhadap bidang sosial politik, pertanian, dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Forest City IKN, Solusi atau Bukan?

3 Juni 2024   12:43 Diperbarui: 3 Juni 2024   13:17 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemindahan ibu kota negara (IKN) menjadi perdebatan hingga saat ini. Pemindahan Ibukota ke wilayah Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Kartanegara (Kukar) dan Penajam Paser Utara (PPU) yang direncanakan sebagai lokasi IKN baru. Wacana pemindahan IKN ini sebenarnya telah muncul sejak lama digagas oleh pemerintah. 

Namun, baru di tahun 2017 melalui Kementerian PPN/Bappenas, upaya pemindahan IKN ini kembali dihidupkan dan digagas secara serius. Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan dialokasikannya dana besar untuk pembangunan Ibu Kota Negara Baru (IKN) di Kalimantan. Tercatat, pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp23 triliun untuk pembangunan IKN pada tahun 2023.[1]

Pemilihan Kalimantan sebagai pusat IKN mendapat beragam tanggapan, termasuk dari peneliti nasional dan internasional. Alasan utama pemilihan Kalimantan adalah karena wilayahnya memiliki hutan terluas dan ekosistem alam yang memadai. Namun, hal ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pengamat, yang memprediksikan kerusakan alam, hutan, atau lingkungan hidup akibat pembangunan IKN[2]. Oleh karena itu perlu peninjauan secara prinsip pembangunan dan kondisi terkini wilayah IKN.  

Prinsip Pengembangan Forest City 

Pembangunan hutan kota di IKN berlandaskan pada beberapa prinsip, yaitu konservasi sumber daya alam dan habitat satwa liar, keterhubungan dengan alam, pembangunan rendah karbon, pengembangan sumber daya air yang holistik, terpadu, dan berkelanjutan, pembangunan terkendali (Anti-sprawl development), serta pelibatan masyarakat (warga negara) dan rimbawan. Setidaknya ada 6 prinsip pengembangan forest city pada IKN yang perlu diterapkan.[3]

1. Prinsip konservasi sumber daya alam dan habitat hewan

prinsip ini difokuskan pada meminimalisir kerusakan ekosistem alam yang ada selama pengembangan. Upaya menjaga ekosistem alam, termasuk habitat alami hewan dan tumbuhan, menjadi prioritas utama. Prinsip ini juga menjadi landasan dalam menjamin kelestarian hutan dengan cara melindungi atau memulihkan ekosistem hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. 

2. Terhubung dengan alam 

Prinsip pembangunan kota hutan selanjutnya adalah menciptakan pembangunan perkotaan yang terhubung dengan alam dan hutan di dalam dan sekitar kota. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan, termasuk koridor hijau. Menghubungkan manusia dengan alam dapat menjadi cara yang efektif untuk mendorong tindakan melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan alam.[4]

3. Pembangunan rendah karbon

Pembangunan rendah karbon di IKN bertujuan untuk mendukung kebijakan nasional pengurangan emisi gas rumah kaca dan memaksimalkan peran ruang terbuka hijau (RTH) atau hutan dalam menyerap karbon. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara dengan memanfaatkan sumber daya alam energi baru dan terbarukan. Prinsip ini efektif dalam mengurangi konsumsi energi dan memperluas akses terhadap penyedia energi berkualitas tinggi.[5] 

4. Pengelolaan sumberdaya air yang holistik, terpadu, dan berkelanjutan 

Prinsip selanjutnya adalah pengelolaan sumber daya air yang holistik, terpadu, dan berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya air harus didasarkan pada dua prinsip utama. Pertama melestarikan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sumber air untuk menjaga kuantitas dan kualitas air. Kedua memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dalam pengalokasian sumber daya air, terutama untuk mendukung vegetasi yang dibutuhkan masyarakat dan ekonomi.

5. Anti sprawl development

Pembangunan kota IKN dengan prinsip terkendali (anti-sprawl) sangat penting karena wilayahnya memiliki ekosistem sensitif. Hal ini mengharuskan adanya kontrol dalam pembangunannya. Penerapan prinsip anti-sprawl di IKN semakin realistis karena kebijakan serupa juga mulai diterapkan di kota-kota besar lainnya sebagai respons terhadap laju pertumbuhan dan perluasan perkotaan yang terus meningkat di abad ke-21.[6]

6. Comunity Engagement (Pelibatan Masyarakat) 

Prinsip terakhir adalah pelibatan masyarakat-warga kehutanan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa hutan dan lingkungan memberikan manfaat bagi masyarakat. Kelestarian hutan dan lingkungan sangat bergantung pada aktivitas manusia atau masyarakat.[7] Kearifan  lokal masyarakat dianut dalam memanfaatkan sumber daya hutan yang mewakili jati diri bangsa.

Daftar Pustaka

[1] Tempo, Sri Mulyani Siapkan Rp 23 Trilun untuk IKN Tahun 2023, untuk Proyek Apa Saja?, https://bisnis.tempo.co/read/1680942/sri-mulyani-siapkan-rp-23-trilun-untuk-ikn-tahun-2023-untuk-proyek-apa-saja, diakses pada 09 Mei 2024.

[2] Baharuddin T , Nurmandi A, Qodir Z, Jubba H, & Syamsurrijal M, Bibliometric Analysis of Socio-Political Research on Capital Relocation: Examining Contributions to the Case of Indonesia, 5(1), Journal of Local Government Issues, 2022, 17-31

[3] Ibrahim AHH, Baharuddin T, Wance M, Developing a Forest City in a New Capital City: A Thematic Analysis of the Indonesian Government's Plans, 15(1), J Bina Praja, 2023, 1--13.

[4] Cheng JCH, Monroe MC, Connection to Nature: Children's Affective Attitude Toward Nature. 44(1), Environment and Behavior, 2012. 31--49.

[5] Bonatz N, Guo R, Wu W,  Liu L. A Comparative Study of the Interlinkages Between Energy Poverty and Low Carbon Development in China and Germany by Developing an Energy Poverty Index. 183, Energy and Buildings, 183, 2019. 817--831.

[6] Charmes , Rousseau M, What's in a Name? That Which We Call Sprawl: Introduction to the Special Issue: Losing Growth Control. 57(3), DisP - The Planning Review, 2021, 22--32

[7] Baumgartner RJ, Sustainable Development Goals and the Forest Sector---A Complex Relationship. 10(2), Journal of Forests, 2019, 152.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun