Tak habis pikir, di tengah kondisi perekonomian yang lesu, pemerintah membuat kebijakan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Gelombang penolakan kenaikan tarif PPN tampak surut setelah pemerintah mengeluarkan keterangan pers PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah. Namun, perbincangan PPN 12% masih ramai di jagat maya. Hal ini karena kondisi real di lapangan menunjukkan, harga barang non-mewah juga mengalami kenaikan. Bahkan, kenaikan harga barang sudah terjadi sebelum pengumuman.
Seribu Satu Dalih
Rasanya wajar jika rakyat marah dan gelisah. Di penghujung tahun 2024, pemerintah bersikukuh menaikkan PPN 11% menjadi 12%. Padahal, beberapa bulan lagi memasuki bulan Ramadan. Seperti biasanya, harga berbagai barang kebutuhan akan mengalami kenaikan menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Beban rakyat jelas makin bertambah dengan kebijakan PPN 12%. Â Tak heran jika petisi online desak Prabowo batalkan PPN 12% tembus hingga 193 ribu tanda tangan per 25 Desember 2024.
Tampaknya, pemerintahan Prabowo-Gibran tak mau dipersalahakan atas kebijakan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, kebijakan PPN 12% sudah diputuskan sejak pemerintahan sebelumnya. Meski demikian, pemerintah saat ini turut mengeluarkan seribu satu dalih untuk membela kenaikan PPN. Pemerintah beralasan, kenaikan PPN 12% diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara, memperbaiki anggaran pemerintah, mengurangi ketergantungan penggunaan utang luar negeri, dan menyesuaikan standar PPN internasional.
Dikutip dari laman kemenkeu.go.id, pemerintah merencanakan Pendapatan Negara dalam APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Pendapatan Negara tersebut bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Sementara itu, Belanja Negara dalam APBN 2025 yang disepakati sebesar Rp3.621,3 triliun. Artinya, akan terjadi defisit sebesar Rp616,2 triliun. Pemerintah bersama DPR menyepakati pembiayaan utang Rp775,9 triliun untuk menutupi defisit anggaran.
Dilihat dari target Pendapatan Negara dari pajak yang begitu besar, wajar jika pemerintah menganggap PPN 12% sangat penting. Sampai-sampai Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan emosional, ''tidak bayar pajak jangan tinggal di Indonesia'. Melalui kenaikan tarif PPN 11% menjadi 12%, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memproyeksikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp75,29 triliun. Kiranya, pemerintah perlu sesekali memahami psikologi rakyat bahwa selama ini, ketaatan membayar pajak kerap dikhianati oleh para elit pejabat melalui korupsi.
PPN 12% Sesuai Amanat UU
Selain alasan di atas, pemerintah juga menegaskan, PPN 12% sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU). Jauh sebelumnya, pemerintah menerbitkan UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah direvisi beberapa kali. Sebelum April 2022, tarif PPN adalah 10% dihitung dari dasar pengenaan pajak (DPP) daripada transaksi. Melalui UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022.
UU HPP tersebut juga menjadi dasar hukum kenaikan tarif PPN 12%. Pada pasal 7 ayat (2) disebutkan, Tarif Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: ... b. sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Terkait dengan kebijakan kontroversial tersebut, ada beberapa hal yang cukup menggelitik untuk dikulik, di antaranya:
Pertama, pemerintah sempat mengerahkan seribu satu alasan untuk membela kebijakan kenaikan PPN. Sikap tersebut lebih tampak menunjukkan, perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Seperti diketahui, utang Indonesia dari pemerintahan sebelumnya telah menembus angka Rp8.500 triliun. Sementara utang yang jatuh tempo di tahun 2025 sebanyak Rp800 triliun. Kondisi saat ini menjadikan pemerintah merasa perlu mengerahkan segala daya upaya demi meningkatkan Pemasukan Negara, termasuk menggenjot pajak.
Kedua, kenyataan bahwa tarif PPN 12% merupakan amanat UU HPP. Pada pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya, rakyat masih perlu untuk terus mengawal terkait kebijakan pajak karena potensi kenaikan PPN hingga maksimal 15% untuk barang non-mewah tetap ada selama peraturan perundang-undangan terkait masih berlaku.
Ketiga, skema perhitungan PPN 12% membingungkan. Pemerintah menyatakan tarif PPN 12% hanya diperuntukkan bagi barang dan jasa mewah yang selama ini terkena PPnBM. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 tahun 2023 telah mengatur PPnBM sebagai pajak progresif yang mana tarif pajak makin naik sebanding dengan naiknya DPP. Sebut saja rumah mewah atau apartemen dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih dikenakan tarif PPnBM 20%, balon udara 40%, helikopter 50%, kapal pesiar dan yacht 75%.
Sementara itu, tarif PPN 12% adalah flat/tetap. Skema perhitungan barang mewah menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 adalah mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor. Hasil perhitungan tersebut kemudian ditambah dengan tarif PPnBM sebelumnya. Tarif ganda tersebut tentu menjadikan harga barang makin mahal hingga pembeli makin berkurang. Ditjen Pajak, Suryo Utomo memproyeksikan PPN 12% barang dan jasa mewah hanya menambah pendapatan Rp1,5 triliun s/d Rp3,5 triliun.
Anehnya, regulasi tersebut juga menetapkan perhitungan PPN barang non-mewah, dengan rumus 12% x 11/12 dikalikan nilai impor, harga jual, atau penggantian. Hasil akhir nilai PPN yang dipungut memang tetap 11%, tetapi terlihat membingungkan. Jika benar PPN 12% hanya untuk barang mewah, kenapa harus mencantumkan perhitungan barang non-mewah? Ketidakjelasan regulasi seperti ini tentu merugikan pengusaha. Jika pengusaha bingung dan membuat kesalahan saat membuat faktur pajak, maka pengusaha tersebut terkena sanksi.
Keempat, kenaikan PPN 12% tidak lagi berkolerasi dengan program stimulus pemerintah. Demi menghindari dampak kenaikan PPN 12%, pemerintah berkomitmen memberikan paket stimulus senilai Rp38,6 triliun kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah selama dua bulan. Jika benar bahwa hanya barang mewah yang terkena tarif PPN 12%, maka yang terdampak hanyalah orang kaya. Hal ini karena yang mampu membeli dan menikmati barang mewah hanya orang super kaya bukan masyarakat biasa.
Kelima, andaipun paket stimulus diberikan karena tarif PPN 12% diberlakukan untuk barang non-mewah, maka tetap tidak mengurangi beban rakyat kecuali hanya sesaat. Dalam waktu dua bulan, sebagian rakyat mendapat kenikmatan subsidi. Akan tetapi, dampak kenaikan PPN 12% bisa meluas dirasakan seluruh rakyat dan berlangsung seterusnya.
Keenam, pemerintah sah-sah saja meyakini kenaikan PPN 12% baik untuk perekonomian negara. Namun, pemerintah tak boleh lupa bahwa saat ini daya beli masyarakat sedang menurun. Kondisi perekonomian usai covid-19 belum benar-benar pulih. Kenaikan PPN menjadikan harga barang makin mahal, permintaan barang menurun hingga pemasukan pajak dari penjualan barang pun berkurang. Maksud hati ingin menaikkan pemasukan pajak Rp75 triliun, tetapi yang terjadi justru mengurangi potensi pajak atas jual-beli barang.
Butuh Komitmen Pemerintah
Sikap pemerintah yang tiba-tiba berubah menyisakan pertanyaan, kenapa keputusan terkait tarif PPN 12% baru diumumkan di malam tahun baru? PMK No. 131 Tahun 2024 diundangkan tanggal 31 Desember 2024 dan berlaku esok hari tanggal 1 Januari 2025. Keputusan tersebut dibuat seolah-olah menunggu gelombang aksi protes masyarakat meluap. Padahal, berbagai paket stimulus yang disiapkan jauh-jauh hari sudah menunjukkan bahwa pemerintah paham kenaikan PPN 12% tidak populis dan berdampak besar bagi masyarakat luas.
Melihat rincian APBN 2025, Pendapatan Perpajakan menyumbang 68% Pendapatan Negara. Dari sini terlihat bahwa pemerintah sedang berupaya menggenjot Pendapatan Perpajakan. Lalu, kenapa bukan tarif PPh yang dinaikkan? Andai tarif PPh yang naik, maka hanya menyasar wajib pajak berpenghasilan tinggi. Masyarakat miskin tidak terdampak secara langsung. Namun, kondisi saat ini banyak karyawan terkena pemutusan hubungan kerja hingga basis PPh makin kecil. Kenaikan tarif PPN jelas lebih praktis untuk menggenjot pendapatan.
Miris. Sistem kapitalis menjadikan pajak sebagai tulang punggung APBN. Atas dasar ini, pemerintah seolah-olah tidak melihat sumber pendapatan lain selain pajak. Pembatalan PPN 12% untuk barang umum tersebut tentu memengaruhi jalannya program pemerintah. Lalu, bagaimana pemerintah menutupi defisit anggaran? Kebijakan menambah utang tentu tidak bijak, mengingat, utang Indonesia sudah membengkak. Sudah saatnya, pemerintah lebih inovatif mencari pendapatan lain dan tidak terfokus pada pajak.
Pemerintah bisa lebih serius menuntaskan RUU Perampasan Aset hasil korupsi. Lihat saja, kasus korupsi timah mencapai Rp271 triliun. Jika kasus ini ditindak ditambah kasus korupsi lainnya, maka pendapatan negara jauh melampaui target pendapatan kenaikan tarif PPN 12%. Apatah lagi, jika pemerintah memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam di darat, di laut, dan di dalam perut bumi. Kebijakan nasionalisasi tambang jelas mampu membiayai berbagai program pemerintah hingga rakyat tak perlu lagi membayar aneka macam pajak.
Masyarakat tentu berharap, kebijakan pembatalan PPN 12% untuk barang umum bukan sekadar demi meredam gejolak. Saat ini, 'No viral no justice' makin terekam kuat dalam benak masyarakat. Kebijakan penerapan PPN 12% hanya untuk barang mewah juga diharapkan bukan sekadar demi mendapat kesan manis di 100 hari kerja Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Di tengah kondisi karut marutnya masyarakat Indonesia, dibutuhkan pemimpin yang peka. Rakyat butuh komitmen pemerintah untuk tidak membuat kebijakan yang memalak.
Walllahu'alam bishshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H