Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penerapan PPN 12%: Cara Praktis Genjot Pendapatan

10 Januari 2025   21:43 Diperbarui: 10 Januari 2025   21:43 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak habis pikir, di tengah kondisi perekonomian yang lesu, pemerintah membuat kebijakan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Gelombang penolakan kenaikan tarif PPN tampak surut setelah pemerintah mengeluarkan keterangan pers PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah. Namun, perbincangan PPN 12% masih ramai di jagat maya. Hal ini karena kondisi real di lapangan menunjukkan, harga barang non-mewah juga mengalami kenaikan. Bahkan, kenaikan harga barang sudah terjadi sebelum pengumuman.

Seribu Satu Dalih

Rasanya wajar jika rakyat marah dan gelisah. Di penghujung tahun 2024, pemerintah bersikukuh menaikkan PPN 11% menjadi 12%. Padahal, beberapa bulan lagi memasuki bulan Ramadan. Seperti biasanya, harga berbagai barang kebutuhan akan mengalami kenaikan menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Beban rakyat jelas makin bertambah dengan kebijakan PPN 12%.  Tak heran jika petisi online desak Prabowo batalkan PPN 12% tembus hingga 193 ribu tanda tangan per 25 Desember 2024.

Tampaknya, pemerintahan Prabowo-Gibran tak mau dipersalahakan atas kebijakan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, kebijakan PPN 12% sudah diputuskan sejak pemerintahan sebelumnya. Meski demikian, pemerintah saat ini turut mengeluarkan seribu satu dalih untuk membela kenaikan PPN. Pemerintah beralasan, kenaikan PPN 12% diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara, memperbaiki anggaran pemerintah, mengurangi ketergantungan penggunaan utang luar negeri, dan menyesuaikan standar PPN internasional.

Dikutip dari laman kemenkeu.go.id, pemerintah merencanakan Pendapatan Negara dalam APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Pendapatan Negara tersebut bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Sementara itu, Belanja Negara dalam APBN 2025 yang disepakati sebesar Rp3.621,3 triliun. Artinya, akan terjadi defisit sebesar Rp616,2 triliun. Pemerintah bersama DPR menyepakati pembiayaan utang Rp775,9 triliun untuk menutupi defisit anggaran.

Dilihat dari target Pendapatan Negara dari pajak yang begitu besar, wajar jika pemerintah menganggap PPN 12% sangat penting. Sampai-sampai Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan emosional, ''tidak bayar pajak jangan tinggal di Indonesia'. Melalui kenaikan tarif PPN 11% menjadi 12%, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memproyeksikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp75,29 triliun. Kiranya, pemerintah perlu sesekali memahami psikologi rakyat bahwa selama ini, ketaatan membayar pajak kerap dikhianati oleh para elit pejabat melalui korupsi.

PPN 12% Sesuai Amanat UU

Selain alasan di atas, pemerintah juga menegaskan, PPN 12% sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU). Jauh sebelumnya, pemerintah menerbitkan UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah direvisi beberapa kali. Sebelum April 2022, tarif PPN adalah 10% dihitung dari dasar pengenaan pajak (DPP) daripada transaksi. Melalui UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022.

UU HPP tersebut juga menjadi dasar hukum kenaikan tarif PPN 12%. Pada pasal 7 ayat (2) disebutkan, Tarif Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: ... b. sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Terkait dengan kebijakan kontroversial tersebut, ada beberapa hal yang cukup menggelitik untuk dikulik, di antaranya:

Pertama, pemerintah sempat mengerahkan seribu satu alasan untuk membela kebijakan kenaikan PPN. Sikap tersebut lebih tampak menunjukkan, perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Seperti diketahui, utang Indonesia dari pemerintahan sebelumnya telah menembus angka Rp8.500 triliun. Sementara utang yang jatuh tempo di tahun 2025 sebanyak Rp800 triliun. Kondisi saat ini menjadikan pemerintah merasa perlu mengerahkan segala daya upaya demi meningkatkan Pemasukan Negara, termasuk menggenjot pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun