Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penerapan PPN 12%: Cara Praktis Genjot Pendapatan

10 Januari 2025   21:43 Diperbarui: 10 Januari 2025   21:43 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, kenyataan bahwa tarif PPN 12% merupakan amanat UU HPP. Pada pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya, rakyat masih perlu untuk terus mengawal terkait kebijakan pajak karena potensi kenaikan PPN hingga maksimal 15% untuk barang non-mewah tetap ada selama peraturan perundang-undangan terkait masih berlaku.

Ketiga, skema perhitungan PPN 12% membingungkan. Pemerintah menyatakan tarif PPN 12% hanya diperuntukkan bagi barang dan jasa mewah yang selama ini terkena PPnBM. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 tahun 2023 telah mengatur PPnBM sebagai pajak progresif yang mana tarif pajak makin naik sebanding dengan naiknya DPP. Sebut saja rumah mewah atau apartemen dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih dikenakan tarif PPnBM 20%, balon udara 40%, helikopter 50%, kapal pesiar dan yacht 75%.

Sementara itu, tarif PPN 12% adalah flat/tetap. Skema perhitungan barang mewah menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 adalah mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor. Hasil perhitungan tersebut kemudian ditambah dengan tarif PPnBM sebelumnya. Tarif ganda tersebut tentu menjadikan harga barang makin mahal hingga pembeli makin berkurang. Ditjen Pajak, Suryo Utomo memproyeksikan PPN 12% barang dan jasa mewah hanya menambah pendapatan Rp1,5 triliun s/d Rp3,5 triliun.

Anehnya, regulasi tersebut juga menetapkan perhitungan PPN barang non-mewah, dengan rumus 12% x 11/12 dikalikan nilai impor, harga jual, atau penggantian. Hasil akhir nilai PPN yang dipungut memang tetap 11%, tetapi terlihat membingungkan. Jika benar PPN 12% hanya untuk barang mewah, kenapa harus mencantumkan perhitungan barang non-mewah? Ketidakjelasan regulasi seperti ini tentu merugikan pengusaha. Jika pengusaha bingung dan membuat kesalahan saat membuat faktur pajak, maka pengusaha tersebut terkena sanksi.

Keempat, kenaikan PPN 12% tidak lagi berkolerasi dengan program stimulus pemerintah. Demi menghindari dampak kenaikan PPN 12%, pemerintah berkomitmen memberikan paket stimulus senilai Rp38,6 triliun kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah selama dua bulan. Jika benar bahwa hanya barang mewah yang terkena tarif PPN 12%, maka yang terdampak hanyalah orang kaya. Hal ini karena yang mampu membeli dan menikmati barang mewah hanya orang super kaya bukan masyarakat biasa.

Kelima, andaipun paket stimulus diberikan karena tarif PPN 12% diberlakukan untuk barang non-mewah, maka tetap tidak mengurangi beban rakyat kecuali hanya sesaat. Dalam waktu dua bulan, sebagian rakyat mendapat kenikmatan subsidi. Akan tetapi, dampak kenaikan PPN 12% bisa meluas dirasakan seluruh rakyat dan berlangsung seterusnya.

Keenam, pemerintah sah-sah saja meyakini kenaikan PPN 12% baik untuk perekonomian negara. Namun, pemerintah tak boleh lupa bahwa saat ini daya beli masyarakat sedang menurun. Kondisi perekonomian usai covid-19 belum benar-benar pulih. Kenaikan PPN menjadikan harga barang makin mahal, permintaan barang menurun hingga pemasukan pajak dari penjualan barang pun berkurang. Maksud hati ingin menaikkan pemasukan pajak Rp75 triliun, tetapi yang terjadi justru mengurangi potensi pajak atas jual-beli barang.

Butuh Komitmen Pemerintah

Sikap pemerintah yang tiba-tiba berubah menyisakan pertanyaan, kenapa keputusan terkait tarif PPN 12% baru diumumkan di malam tahun baru? PMK No. 131 Tahun 2024 diundangkan tanggal 31 Desember 2024 dan berlaku esok hari tanggal 1 Januari 2025. Keputusan tersebut dibuat seolah-olah menunggu gelombang aksi protes masyarakat meluap. Padahal, berbagai paket stimulus yang disiapkan jauh-jauh hari sudah menunjukkan bahwa pemerintah paham kenaikan PPN 12% tidak populis dan berdampak besar bagi masyarakat luas.

Melihat rincian APBN 2025, Pendapatan Perpajakan menyumbang 68% Pendapatan Negara. Dari sini terlihat bahwa pemerintah sedang berupaya menggenjot Pendapatan Perpajakan. Lalu, kenapa bukan tarif PPh yang dinaikkan? Andai tarif PPh yang naik, maka hanya menyasar wajib pajak berpenghasilan tinggi. Masyarakat miskin tidak terdampak secara langsung. Namun, kondisi saat ini banyak karyawan terkena pemutusan hubungan kerja hingga basis PPh makin kecil. Kenaikan tarif PPN jelas lebih praktis untuk menggenjot pendapatan.

Miris. Sistem kapitalis menjadikan pajak sebagai tulang punggung APBN. Atas dasar ini, pemerintah seolah-olah tidak melihat sumber pendapatan lain selain pajak. Pembatalan PPN 12% untuk barang umum tersebut tentu memengaruhi jalannya program pemerintah. Lalu, bagaimana pemerintah menutupi defisit anggaran? Kebijakan menambah utang tentu tidak bijak, mengingat, utang Indonesia sudah membengkak. Sudah saatnya, pemerintah lebih inovatif mencari pendapatan lain dan tidak terfokus pada pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun