Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Merebaknya Virus Childfree, Peran Ibu Kian Tak Diminati

30 Desember 2024   22:47 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjalani proses hamil, melahirkan, dan mengasuh anak memang berat. Namun, ada kondisi yang sebenarnya lebih berat dan menakutkan, yaitu ketika anak menjadi musuh orang tuanya sendiri. Saat ini, makin banyak kasus seorang anak menggugat orang tuanya. Lebih parah lagi, kasus anak membunuh orang tua kandung makin merebak. Kondisi sosial yang kian memprihatinkan turut menambah deretan alasan bagi wanita untuk memilih childfree. Sederhananya, buat apa repot-repot punya anak kalau akhirnya membawa petaka?

Ide childfree lebih menunjukkan gagal sebelum ujian dan mundur sebelum berperang. Mereka tampak terlalu fokus pada risiko hingga muncul kekhawatiran berlebih. Padahal, childfree juga memiliki risiko kesehatan yang tak boleh diabaikan. Seorang wanita yang tidak menjalani kehamilan dan menyusui memiliki tingkat risiko tinggi terjadi kanker ovarium, kanker payudara, dan endometriosis. Hal ini karena proses hamil dan menyusui membantu menekan ovulasi dan menurunkan paparan hormon estrogen.

Terlepas dari banyaknya kasus memilukan nan sadis antara anak dan orang tuanya, memiliki anak memang berpotensi sengsara, tetapi juga berpotensi bahagia. Membesarkan seorang anak berpotensi menjadi durhaka, tetapi juga berpotensi menjadi saleh. Dari pada memusingkan hal yang belum pasti terjadi, alangkah baiknya pasangan suami istri menyiapkan ilmu agama dan ilmu parenting hingga lebih siap untuk menerima kehadiran anak-anak nanti. Saat melakukan proses parenting, jangan lupa senantiasa melangitkan doa terbaik untuk anak-anak. 

Sebenarnya, ide childfree tidak muncul begitu saja. Ide ini merupakan buah sekularisme yang memisahkan urusan agama dengan kehidupan. Orang sekuler tak ingin aturan agama mencampuri kehidupan berumahtangganya, termasuk keputusan memiliki anak atau tidak. Sekularisme melahirkan ide hak kebebasan yang kerap disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu implementasi dari HAM adalah perlindungan terhadap wanita atas hak menentukan kesehatan reproduksinya sendiri, termasuk keputusan untuk tidak hamil dan melahirkan. 

Dari sejumlah alasan untuk memilih childfree, tampak bahwa dasarnya adalah materi. Sekularisme memang memandang kebahagiaan diukur dari hal-hal yang bersifat materi. Wanita bahagia ketika segala kebutuhan hidupnya tercukupi, ketika tubuhnya tetap cantik, dan ketika bebas melakukan banyak hal. Tanpa sadar, sekularisme yang mengagungkan kebebasan menjadikan generasi saat ini bermental rapuh. Generasi saat ini memang tampak cerdas, tetapi tak siap untuk menanggung banyak beban dan kewajiban hingga kerap disebut dengan generasi strawberry.

Jika ditilik lebih jauh, memiliki banyak anak tak hanya dibanggakan oleh Rasulullah, tetapi juga menjadi kekuatan suatu negara. Viral berita 10 juta 'akiya' atau rumah kosong di Jepang dijual murah dengan harga mulai dari Rp15 ribu hingga Rp151 juta. Jumlah penduduk asli Jepang mengalami penurunan selama 15 tahun berturut-turut, sementara warga asing menyumbang 2,7% dari total populasi Jepang sebanyak 124,9 jiwa.

Selama ini, ada keyakinan bahwa kualitas penduduk lebih utama dari pada kuantitas. Muncul narasi, buat apa penduduk banyak kalau kualitasnya rendah? Jumlah penduduk yang banyak pun kerap dianggap sebagai beban negara. Namun, kuantitas atau jumlah penduduk ternyata tak kalah penting. Dulu, Amerika kurang memerhitungkan India dan China, tetapi sekarang mulai waspada. Kedua negara Asia tersebut merupakan peraih peringkat satu dan dua penduduk terpadat di dunia yang sementara menjadi pesaing berat bagi Amerika dan Barat.

Mencari Ridho Allah

Pilihan childfree sangat kontras dengan maksud dan tujuan pernikahan dalam Islam. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi gharizah nau' (naluri melestarikan jenis). Naluri ini adalah fitrah yang dimiliki setiap manusia yang tampak dari adanya kebutuhan seksualitas, merindukan keturunan serta adanya rasa kasih sayang. Sekuat apapun seseorang mencoba menolak keberadaan anak, tetap saja akan muncul kerinduan. Hanya saja, naluri ini memang bisa dialihkan, misalnya dengan memelihara hewan, spirit doll, atau benda lainnya.

Dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 21 disebutkan, pernikahan sebagai mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang kuat). Pernikahan bukan sekadar perjanjian antara seorang pria dengan wanita maupun keluarganya. Akan tetapi, juga merupakan perjanjian dengan Allah yang mana ada ketentuan syarak di dalamnya.  Di balik sisi lemah-lembutnya seorang wanita, Allah memberi kekuatan untuk menahan rasa sakit saat hamil dan melahirkan. Jika makhluk lembut nan kuat bernama wanita ini tak mau punya anak, bagaimana peradaban manusia bisa terus berlanjut?

Dalam Islam, wanita hamil memiliki banyak keutamaan, di antaranya salat dua rakaat yang dilakukan ibu hamil lebih baik dibandingkan dengan salat 80 rakaat yang dilakukan wanita tidak hamil. Allah juga memberi pahala jihad bagi wanita hamil dan melahirkan. Adapun wanita yang meninggal dunia saat hamil atau melahirkan, maka digolongkan mati syahid. Andai saja setiap muslimah memiliki mindset yang diajarkan Islam, mereka tentu lebih memilih untuk memiliki anak karena memahami peran ibu sangat mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun