Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Merebaknya Virus Childfree, Peran Ibu Kian Tak Diminati

30 Desember 2024   22:47 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Temuan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan, 71 ribu wanita Indonesia rentang usia 15-49 tahun memilih childfree, cukup mengejutkan. Angka tersebut tentu patut diwaspadai. Childfree merupakan buah pemikiran Barat yang lahir dari sekularisme. Ibarat virus, suatu pemikiran bisa menyebar cepat hingga tak menutup kemungkinan penganut childfree terus bertambah setiap tahun. Perlahan tapi pasti, pemikiran Barat tersebut menjadikan peran ibu yang mulia kian tak diminati para wanita.

Childfree Murni Pilihan

Temuan BPS di atas tercantum dalam laporan BPS 2023 berjudul 'Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia'. Childfree berbeda dengan childless. Childless adalah suatu kondisi yang mengakibatkan atau memaksa seseorang tidak memiliki anak karena adanya berbagai faktor. Sedangkan childfree adalah seseorang yang memilih dan memutuskan tidak memiliki anak walaupun kondisinya mampu menghasilkan keturunan. Jadi, childfree murni pilihan seseorang untuk tidak memiliki anak baik dengan cara melahirkan maupun adopsi.

Ada banyak alasan saat seseorang memilih childfree, di antaranya alasan karir, ekonomi, kecantikan, hingga kesehatan mental. Penganut childfree beranggapan, anak bisa menghambat karir. Nyatanya, mengasuh anak menguras banyak waktu dan energi. Kondisi ini menjadikan wanita karir tak bisa fokus bekerja karena pikirannya bercabang. Tak heran jika virus childfree banyak merebak di masyarakat perkotaan yang cenderung menomorsatukan karir.

Selain itu, penganut childfree memandang konsep rezeki dengan perhitungan ala matematika. Mereka mengalkulasi biaya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan biaya lainnya saat hidup bersama anak-anak. Muncul pesimistis bahwa penghasilan yang didapat tak mampu mencukupi kebutuhan hidup yang pastinya membengkak. Muncul pula pemikiran lebih baik tak punya anak dari pada memiliki anak yang menderita karena tak mendapat materi yang cukup. Tanpa sadar, pemikiran semacam ini sebenarnya menganggap anak sebagai beban ekonomi.

Anggapan lain yang cukup menggelitik bahwa hidup tanpa anak membuat wanita tetap cantik dan awet muda. Nyatanya, banyak wanita yang kondisi fisiknya berubah setelah hamil dan melahirkan. Childfree dianggap sebagai anti penuaan dini alami karena wanita tak perlu stres mengurus anak yang kerap melakukan hal random. Mereka bisa tidur delapan jam sehari, lebih santai beraktivitas hingga kesehatan mental tetap terjaga. Sementara itu, ketika kulit mulai keriput, wanita childfree bisa melakukan perawatan karena keuangannya 'sehat'.

Childfree Buah Sekularisme

Ide childfree memang tampak manis. Apalagi, jika dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang makin sulit dan biaya kebutuhan hidup yang makin melangit. Mahalnya biaya hidup menjadikan wanita zaman now lebih gencar go public turut serta mencari duit. Mahalnya biaya hidup juga telah meruntuhkan keyakinan masyarakat Indonesia yang tertanam kuat sekian lama, yaitu 'banyak anak banyak rezeki'. Pada akhirnya, banyak wanita menganggap karir sebagai sesuatu yang wajib diperjuangkan dan dipertahankan.

Di antara wanita childfree tentu banyak muslimah, mengingat, penduduk Indonesia mayoritas muslim. Islam sendiri lebih menyukai wanita yang subur dan banyak anak. Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Nikahilah perempuan yang penyayang dan yang dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan bangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para nabi nanti pada hari kiamat." (HR Ahmad)

Wanita zaman now perlu sesekali berkaca pada wanita zaman old. Wanita tempo dulu memang lebih rendah dari sisi pendidikan formal, tetapi mental mereka kuat. Wanita sekarang mengagungkan pendidikan dan kecerdasan, tetapi mental mereka rapuh. Jangankan banyak anak, seorang anak pun enggan. Mereka terlalu overthingking bahwa penghasilan mereka tak akan mampu mencukupi kebutuhan anak-anak. Padahal, mereka belum melewati kehidupan bersama anak-anak. Lebih-lebih, rezeki tak sama dengan hasil kalkulasi ala matematika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun