Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Peternak Sapi Perah New Zealand van Java

22 November 2024   09:50 Diperbarui: 24 November 2024   04:53 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi, tampak ironis. Kalaulah benar, alasan impor adalah karena produksi dalam negeri minim, kenapa peternak sapi Boyolali membuang susu begitu banyak? Logikanya, peternak sampai membuang susu, berarti mereka dalam kondisi produksi melimpah. Dengan membuang susu sapi 50.000 liter per hari, akan ditemukan angka 1.500.000 liter atau 1.500 ton susu per bulan. Sementara itu, pembatasan kuota susu sapi lokal sudah berlangsung sejak September 2024. Tak bisa dibayangkan betapa banyak susu yang sebenanya sudah terbuang sia-sia.

Publik tentu tak bisa menyalahkan peternak sapi sepenuhnya. Mereka bukan tak ingin bersedekah, tetapi menyalurkan susu sebanyak itu membutuhkan tenaga dan biaya ekstra. Seperti diketahui, susu sapi segar harus segera disalurkan karena hanya bertahan 48 jam. Sementara itu, peternak sapi perah Boyolali hanyalah peternak kecil yang menjual susu demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menghentikan produksi susu juga bukan solusi. Di tengah kondisi dilema, mau tidak mau mereka membuang susu percuma.

Selama ini, Boyolali dikenal dengan nama New Zealand van Java atau Selandia Baru dari Jawa. Seperti halnya New Zealand, Boyolali merupakan salah satu produsen susu dan pemasok daging sapi terbesar di Indonesia. Dikutip dari laman boyolalikab.bps.go.id, jumlah sapi perah di Kabupaten Boyolali sebanyak 60.704 ekor (2022). Jumlah sapi tersebut mampu memproduksi susu sapi sebanyak 51,9 juta liter di tahun 2022. Namun, jumlah produksi susu sapi tahun 2023 menurun, yaitu hanya 38,8 juta liter akibat munculnya penyakit mulut dan kuku (PMK) dan lumpy skin diseases (LSD).

Di Mana Peran Negara?

Sengkarut peternak susu sapi perah menyisakan pertanyaan, di mana peran negara selama ini? Padahal, profesi peternak sapi perah di Boyolali sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun secara turun menurun. Kenapa harus 'viral dulu, gerak kemudian'? Problem para peternak sapi seperti tak terdeteksi oleh pemerintah hingga harus unjuk gigi di depan publik.

Pemerintahan baru Prabowo-Gibran tampak cepat merespon aksi mandi susu di Boyolali. Namun, solusi atas masalah tersebut tak cukup menghimbau IPS menyerap susu sapi lokal. Pemerintah juga wajib membuat regulasi yang bisa melindungi nasib peternak sapi lokal dengan lebih jelas. Jauh sebelumnya, ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Akan tetapi, regulasi itu dicabut di awal tahun 1998 demi mengikuti Letter of Intent antara pemerintah RI dengan IMF.

Miris. Susu lokal terkena pajak besar sementara susu dari New Zealand dan Australia bebas PPN dan bea masuk. Ketentuan tentang pembebasan bea masuk diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 166 Tahun 2011 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).

Pemerintah harusnya jeli, anggaran jumbo program susu gratis sebesar Rp14 triliun sangat menggiurkan bagi para kapital. Industri lebih memilih susu impor (skim) karena tahan lama, mengurangi biaya produksi, hemat waktu hingga untung yang diperoleh bisa lebih banyak. Sesungguhnya, karakter kapitalis memang demikian, mengambil untung banyak dengan modal sedikit tanpa memedulikan rakyat kecil. Selanjutnya, nasib peternak sapi perah ada di tangan pemerintah. Akankah tetap membela para kapital atau kembali membela peternak kecil.

Nyatanya, kebijakan pemerintah terkait impor selalu merugikan rakyat. Peternak kecil tentu kalah saat berhadapan dengan importir. Cepat atau lambat, usaha peternak sapi akan gulung tikar. Sama halnya ketika pemerintah melalui Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, berkeingingan mengundang investor Vietnam membangun industri susu di Indonesia. Kebijakan tersebut sangat potensial mematikan industri lokal. Miris. Kebijakan impor dan mengundang investor terus dilakukan dengan dalih sumber daya dan teknologi masih minim.

Adapun terkait klaim AIPS yang menyatakan susu sapi lokal memiliki kualitas rendah, maka diperlukan penelitian lebih lanjut. Berbicara kualitas, susu sapi impor berupa skim juga belum tentu lebih baik dari susu lokal karena sudah melewati berbagai macam proses. Jangan sampai, klaim kualitas susu lokal rendah hanya untuk membenarkan kebijakan impor susu. Selain meneliti kualitas susu sapi lokal, pemerintah juga perlu meneliti produk industri berupa susu instan yang selama ini disinyalir lebih banyak mengandung gula dan pewarna.

Allah SWT. berfirman dalam Al-Quran, "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rosul, dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui." (QS. Al-Anfal: 27)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun