Laki-laki dianggap pihak yang lebih pantas berbicara masalah agama dan perempuan kurang diberi ruang untuk membicarakan dirinya sendiri dan menyampaikan mengenai pemahaman dan penghayatannya terhadap agamanya. Akan tetapi, apa yang dialami dalam keterlibatannya dengan organisasi-organisasi perempuan tersebut memiliki implikasi yang amat penting terhadap perubahan sosial, diantaranya adalah perannya dalam peroses penumbangan rezim Orde Baru.
Persentuhan Neng Dara dengan agama-agama lain dimulai ketika ia berkuliah di jurusan perbandingan agama. Dari situ dia mulai menghayati bahwa setiap agama manapun mengajarkan kepada keindahan dan kebaikan. Rasa memahami terhadap agama lain yang berbeda semakin tumbuh ketika ia dalam aktivitasnya berkesempatan berkunjung ke negara-negara lain.Â
Ia pernah merasakan menjadi minoritas saat berkesempatan diundang ke Finlandia dalam suatu acara. Pengalamannya berjumpa dengan seorang laki-laki Finlandia di pesawat membuat dirinya menyadari bahwa betapa buruknya Islam dimata negara lain yang cenderung mengidentikannya dengan pengukungan terhadap perempuan. Dari sini ia menyadari bahwa menjadi minoritas dengan prasangka-prasangka buruk terhadap Islam sangatlah tidak nyaman.Â
Oleh sebab itu diperlukannya pemahaman semacam ini untuk bersikap tanpa menaruh prasangka-prasangka dan melakukan stereotip-stereotip terhadap orang yang memiliki perbedaan dari kita. Kunjungannya ke Amerika membawakan pengalaman yang lain, ia merasakan adanya kesegaran dari adanya kebebasan beragama yang terwujud di sana.Â
Kemudian ia menghayati pemeluk Islam yang hidup di Amerika seperti Fazlur Rahman, Sayyed Hossein Nasr sebagai sarjana muslim yang memiliki pengaruh disana. Ia semakin menyadari bahwa Islam memiliki banyak wajah namun tetap terpaut oleh prinsip-prinsip dasar dan doktrin tunggal Islam, yakni kesaksian syahadat. Islam berbeda-beda karena bersesuaian dengan corak budaya yang khas yang dimiliki oleh setiap negara.
Terakhir, Neng Dara berupaya menghantarkan kita menyelami identitasnya sebagai anak bangsa. Mulanya ia tidak terpaut dengan negeri ini karena kepemimpinan rezim otoriter Soeharto, Ia tidak mempercayai penguasa. Hingga kemudian seiring pematangan dirinya ia mulai berpartisipasi dalam gerakan reformasi, gerakan kebebasan pers, serta dalam upaya pendundaan pengesahan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).Â
Ditengah-tengah pro kontra tersebut ia mencoba menghayati kembali semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang terdiri dari beragam suku tapi terikat dalam satu keindonesiaan. Ia melihat bahwa Indonesia belum dewasa dalam menerima keberagaman. Di akhir tulisan ia merefleksikan hal ini dalam bait pertanyaan "apa artinya para penyelenggara negara memerintahkan warganya untuk setia pada bangsa ini sementara negara tidak memberikan apa-apa kepada rakyatnya?"
Permasalahan yang menarik dari buku ini adalah ketika ia mulai mendapatkan pemahaman mengenai feminisme dan mencoba merefleksikan hal yang ia dapatkan ke dalam lingkungan keluarga Kiai yang pandangannya cenderung Patriarkis. Hingga kemudian Ia menyadari bahwa ayahnya memiliki pola pemikiran patriarkis tersebut. pemikiran bahwa tugas seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dan sebagai pelindung, sementara tugas mengurus rumah tangga sekaligus merawat anak adalah tugas dan tanggung jawab ibu.Â
Tugas ibu yang banyak tersebut menjadi beban tersendiri bagi ibu sehingga seorang Neng Dara yang kala itu telah memiliki pemahaman atas keadilan antara suami dan istri mengalami konflik batin untuk menyampaikan pemahamannya kepada sang ayah. Hal tersebut memang merupakan sebuah permasalahan yang umum terjadi di masyarakat luas, dimana terjadi konstrusi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang justru cenderung mengeksploitasi perempuan dan Neng Dara sebagai seorang intelektual muda mencoba untuk meruntuhkan stigma tersebut dikalangan masyarakat terutama di lingkungan keluarganya.Â
Sehingga pada puncaknya seorang Neng Dara mengalami konflik batin untuk menyampaikan pemahamannya kepada sang ayah. Hingga kemudian hal tersebut dapat tersampaikan dan diselesaikan dengan baik. Sehingga pada akhirnya hati ayahnya yang semula keras pun luluh dan memahami pendiriannya. Ayahnya yang dulu pemaksa menjadi berubah dan lebih mengupayakan kesetaraan antara suami dan istri.Â
Selain itu merupakan hal yang menarik pula untuk menilik bagaimana perjuangan seorang Neng Dara dalam menyosialisasikan mengenai ketimpangan ini di kalangan masyarakat melalui keanggotaannya di organisasi-organisasi pengkajian gender, gerakan perempuan dan LSM perempuan yang mana dalam perjalanannya penuh dengan pertentangan dan hambatan, namun ia tak gentar, tetap berjuang dan maju.