Mohon tunggu...
Ikhsan Margo
Ikhsan Margo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Praktisi Statistik - Pengamat sosial

Pegawai Negeri Sipil di Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoal Salah Kaprah Memahami Data Kemiskinan di Indonesia

27 September 2024   14:36 Diperbarui: 28 September 2024   07:15 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, Pak Udin singgah di warung kopi dekat pusat Kota Serang bersama dengan teman pengemudi ojek online "ojol" lainnya. 

Hari ini cuaca terasa lebih terik dari biasanya, tetapi kopi panas masih terasa nikmat ditemani dengan sebatang rokok filter merek baru yang murah tapi kata Pak Udin rasanya seperti rokok mahal. 

Merek rokok yang biasa dibeli Pak Udin berbeda dengan yang biasanya dibeli 2 tahun lalu, katanya merek yang lama itu sekarang sudah mahal sekali jadi terpaksa harus ganti merek rokok. 

Beliau pun juga mengeluh sekarang sulit untuk menabung karena harga kebutuhan pokok semakin naik sementara pendapatan masih segini-segini saja.

Pak Udin adalah contoh nyata masyarakat yang kini akrab disebut  kelompok penduduk "kelas menengah" atau bahkan kelompok penduduk "calon kelas menengah". 

Untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari mungkin cukup, namun agak sulit ketika harus membeli kebutuhan lainnya. Akhir-akhir ini publik akrab dengan pemberitaan penduduk kelas menengah dan kemiskinan.

Banyak pakar ekonomi yang memperingatkan bahwa pemerintah mestinya lebih memperhatikan golongan masyarakat kelas menengah yang "turun kelas" dan tidak hanya "memamerkan" capaian penurunan tingkat kemiskinan secara umum.

Perbedaan cara hitung bukan berarti data tersebut salah

Memang benar berdasarkan data makro yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin Indonesia pada Maret 2024 tercatat sebesar 9,03 persen yang mengalami penurunan dibandingkan kondisi Maret 2023 (9,36 persen). 

Jika hanya melihat angka, pemerintah bisa saja mengeklaim bahwa ada penurunan kemiskinan yang signifikan, namun disisi lain masyarakat bawah banyak yang mengeluh kesulitan ekonomi seperti yang Pak Udin alami. 

Masyarakat sekarang sudah semakin cerdas dan melek data, untuk itu sudah seharusnya diperlukan kebijaksanaan, kehati-hatian, dan ketelitian dalam melihat data-data tersebut.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada September 2024 mempublikasikan laporan yang sangat komprehensif dengan judul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024 "Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin". 

Dalam laporan tersebut, CELIOS mengkritisi bahwa garis kemiskinan di Indonesia saat ini sudah tidak relevan sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia sebenarnya lebih banyak dari yang terdeteksi oleh Badan Pusat Statistik. 

Adapun CELIOS membandingkan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS dengan standar internasional Bank Dunia yang menggunakan konversi nilai tukar US Dollar Purchasing Power Parity (PPP). 

Pada 2023, Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah, standar kemiskinan adalah $6,85 PPP per hari atau sekitar Rp1,2 juta per bulan. 

Sementara itu, Badan Pusat Statistik menetapkan garis kemiskinan di Indonesia pada Rp535.547 per bulan atau $3,16 PPP per hari (CELIOS, 2024). 

Hal ini menyiratkan bahwa garis kemiskinan BPS jauh lebih rendah dari standar internasional, tidak relevan, dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

Tentunya pendapat ini sah-sah saja karena berdasarkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan, namun disisi lain opini terkait ketidakrelevanan dan ketidakakuratan data dari BPS juga perlu kehati-hatian dalam memaknainya. 

Terkait data kemiskinan, BPS telah lama dan konsisten menggunakan pendekatan konsumsi dengan batas garis kemiskinan sebesar 2100 kkal ditambah kebutuhan primer nonmakanan per kapita per hari. 

Pendekatan konsumsi dengan kalori ini dipandang sebagai pendekatan yang terukur dan memiliki dasar yang kuat (Jousairi,2013). 

Selanjutnya, batas 2100 kkal juga bukan ukuran versi Indonesia saja tetapi berdasarkan kajian mendalam para pakar di FAO dan WHO yang merupakan batas minimal kebutuhan manusia untuk hidup dan mampu bekerja.

Hal ini berarti bahwa dalam memahami data kemiskinan, angka persentase penduduk miskin sebesar 9,03 persen pada Maret 2024 tersebut merupakan penduduk miskin dalam artian mereka yang dalam kesehariannya mengonsumsi makanan dan nonmakanan kurang dari batas minimal kebutuhan manusia. 

Angka tersebut menyiratkan bahwa masyarakat miskin adalah yang benar-benar tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya baik makanan maupun nonmakanan. 

Jika akan menggunakan standar lain seperti pada hasil kajian CELIOS, maka angka kemiskinan akan meningkat secara signifikan. 

Perbedaan angka kemiskinan tersebut bukan berarti tidak relevan atau tidak akurat, namun lebih kepada perbedaan cara hitung dan sudut pandang interpretasinya. 

Bank Dunia sendiri menetapkan batas garis kemiskinan bertujuan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Pada prakteknya, kedua cara hitung kemiskinan tersebut justru sebenarnya bisa saling melengkapi informasi terkait kondisi kemiskinan di Indonesia.

Penyempurnaan cara hitung garis kemiskinan adalah sebuah keharusan

Kritik terkait garis kemiskinan merupakan hal yang sangat baik dalam proses membangun data statistik yang lebih berkualitas. 

Dalam beberapa tahun, tentunya banyak hal yang berubah baik dari pola konsumsi masyarakat maupun kondisi sosial ekonomi secara umum. 

Meskipun garis kemiskinan BPS terus diperbaharui menyesuaikan kenaikan harga bahan pokok, namun fenomena peningkatan standar hidup masyarakat, perubahan pola konsumsi masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan.

Kondisi Indonesia yang telah naik menjadi negara berpendapatan menengah keatas, dan lain-lain akan terus menjadi perhatian BPS dalam menghitung besaran garis kemiskinan. 

Perubahan garis kemiskinan juga harus dipahami sebagai penyempurnaan garis kemiskinan yang selaras dengan perubahan sosial ekonomi di masa sekarang. 

Bisa jadi dengan garis kemiskinan yang lebih tinggi, penduduk seperti Pak Udin tergolong kedalam penduduk yang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Akhirnya, angka kemiskinan yang dihitung dengan berbagai sudut pandang dan metode hitungnya merupakan informasi yang wajib menjadi pedoman bagi pemerintah. 

Jangan juga, pemerintah hanya mengeklaim telah terjadi penurunan kemiskinan yang signifikan sementara masih banyak penduduk yang rentan miskin.

Masih banyak penduduk yang sulit dalam mengakses kebutuhan dasar baik makanan dan nonmakanan, masih banyak anak yang putus sekolah, masih banyak masyarakat yang sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, dan lain sebagainya. 

Pembangunan tidak hanya harus berlandaskan pada data yang akurat, tetapi juga berlandaskan pada pemahaman data yang baik dan menyeluruh.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun