Kasus korupsi yang menjerat Harvey Moeis kembali menuai perdebatan, terutama terkait kemungkinan pemberian remisi yang bisa meringankan hukumannya. Laode M. Syarif, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menegaskan bahwa terdakwa dalam kasus korupsi timah ini seharusnya tidak mendapatkan potongan masa hukuman.
Menurutnya, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang seharusnya mendapat hukuman berat tanpa keringanan.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut bahwa Harvey layak dihukum 50 tahun penjara, menurut Laode, lebih merupakan sindiran agar para hakim menjatuhkan hukuman maksimal.
Dalam sistem hukum Indonesia, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hukuman maksimal bagi koruptor adalah seumur hidup atau 20 tahun penjara. Meski begitu, yang menjadi persoalan utama bukanlah lamanya hukuman, tetapi kemudahan para narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi.
Sejarah mencatat bahwa pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang memperketat pemberian remisi bagi napi korupsi. Sebelum aturan itu dihapus, syarat remisi bagi narapidana kasus korupsi lebih ketat: mereka harus bersedia menjadi justice collaborator dan membayar denda serta uang pengganti.
Namun, setelah aturan tersebut dicabut, kini mereka bisa mendapatkan remisi dengan syarat yang sama seperti narapidana lainnya, yaitu hanya perlu berkelakuan baik dan telah menjalani lebih dari enam bulan masa tahanan. Laode menilai kebijakan ini merugikan upaya pemberantasan korupsi dan membuka peluang bagi praktik jual beli remisi di dalam lembaga pemasyarakatan.
Dugaan praktik jual beli remisi semakin mencuat setelah Laode mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendengar soal transaksi ilegal ini. Menurutnya, remisi bisa saja diperjualbelikan---mulai dari 10 hari, 1 bulan, hingga 6 bulan, tergantung kesepakatan.
Ia menyesalkan bahwa aturan yang dulu membatasi remisi bagi koruptor kini dihapus, sehingga mereka bisa kembali menghirup udara bebas lebih cepat daripada yang seharusnya.
Dalam praktiknya, pemerintah memang kerap memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa pada perayaan HUT RI tahun 2021 dan 2022, sebanyak 635 napi korupsi mendapat remisi, dengan delapan orang langsung bebas.
Indonesian Corruption Watch juga mencatat bahwa pada 2019, sebanyak 338 napi korupsi menerima remisi pada momentum yang sama. Pada September 2022, pemerintah bahkan membebaskan bersyarat 23 narapidana korupsi, termasuk mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, hingga mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukuman bagi koruptor di Indonesia cenderung kehilangan efek jera.
Harvey Moeis sendiri divonis enam tahun enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun penjara.
Ia juga dijatuhi denda sebesar Rp1 miliar dengan subsider enam bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp210 miliar.
Vonis ringan ini juga diberikan kepada dua terdakwa lainnya dalam kasus yang sama, yakni Direktur PT RBT Suparta yang hanya divonis delapan tahun penjara dari tuntutan awal 14 tahun, serta Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah, yang divonis lima tahun penjara dari tuntutan awal delapan tahun. Padahal, kasus ini telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, termasuk dari kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal.
Harvey Moeis diketahui memiliki peran sentral dalam skandal ini. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat PT Timah dan pemilik smelter swasta untuk mengatur permintaan bijih timah dari tambang ilegal.
Dalam pertemuan itu, ia meminta empat smelter swasta untuk membayar biaya pengamanan yang dikemas sebagai dana corporate social responsibility (CSR). Lebih dari itu, ia juga diduga menerima uang sebesar Rp420 miliar bersama seorang manajer perusahaan lain, sementara kerugian negara akibat aktivitas ilegal ini mencapai ratusan triliun rupiah.
Dengan besarnya dampak kejahatan ini, masyarakat tentu mempertanyakan apakah hukuman yang dijatuhkan sudah cukup adil. Jika sistem pemasyarakatan tetap memberikan remisi dengan begitu mudahnya, bukan tidak mungkin Harvey Moeis akan menjalani hukuman lebih singkat dari yang seharusnya.
Reformasi kebijakan remisi bagi koruptor menjadi hal yang mendesak, agar hukuman yang dijatuhkan benar-benar memberikan efek jera. Jika tidak, praktik jual beli remisi hanya akan semakin menguntungkan koruptor dan memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI