Merasakan Zat dan Sifat Allah dalam Shalat
Buya Rusfi menjelaskan bahwa shalat adalah momen penyaksian antara zat dan sifat Allah. Dalam analoginya, ia mengatakan,
"Seperti garam dan rasa asin. Ketika kita makan garam, yang dirasakan adalah asin, meski keduanya tidak terpisahkan. Begitu pula shalat, di mana zat Allah memuji sifat-Nya melalui perbuatan (af'al), dan sifat-Nya memuji zat-Nya melalui asma-Nya."
Zatnya adalah zat Allah, sifatnya adalah sifat Allah, dan asma-Nya adalah asma Allah. Shalat menjadi perjalanan pengakuan bahwa yang menyembah dan yang disembah adalah Dia.
Perjalanan dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha
Isra' Mi'raj juga menggambarkan dua perjalanan yang harus ditempuh seorang mukmin untuk bertemu Allah. Perjalanan pertama, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, adalah perjalanan syariat---perjalanan lahiriah yang harus dilakukan dengan tubuh.
Perjalanan kedua, dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, adalah perjalanan hakikat atau tasawuf---perjalanan batiniah yang dilakukan oleh ruh.
Dalam shalat, perjalanan syariat ini dimulai dengan wudhu sebagai simbol pembersihan lahir dan batin, lalu diteruskan dengan gerakan-gerakan shalat. Sedangkan perjalanan hakikatnya terjadi saat hati atau qalbu---yang disebut sebagai baitullah (rumah Allah)---berkoneksi dengan Allah.
"Makna Masjidil Haram adalah ketika kita masih terjebak dalam duniawi, belum menemukan jalan kembali kepada Allah. Sementara Masjidil Aqsa melambangkan titik awal perjalanan spiritual, saat kita mulai berjalan dengan bimbingan akal untuk tunduk kepada Allah," tutur Buya Rusfi.
Shalat Sebagai Oleh-Oleh Isra' Mi'raj
Shalat adalah oleh-oleh dari peristiwa Isra' Mi'raj. Sebelum Nabi Muhammad SAW melaksanakan Isra' Mi'raj, malaikat Jibril membelah dada beliau dan membersihkan hati beliau. Hal ini menggambarkan pentingnya kebersihan lahir dan batin sebelum melaksanakan shalat. Begitu pula, kendaraan buraq dalam Isra' Mi'raj dimaknai sebagai tubuh manusia yang digunakan untuk menjalankan shalat.