Setiap tahun umat Islam memperingati peristiwa Nabi Muhammad saw diperjalankan Allah swt dari masjidil haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, kemudian dari Al Aqsa menuju sidratul muntaha di langit ketujuh. Peristiwa Isra' Mi'raj pada malam 27 Rajab itu tahun ini jatuh pada 27 Januari 2025.
Peristiwa yang diabadikan dalam Al-Qur'an ini mengajarkan bagaimana seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Buya Rusfi, pengasuh Pondok Pesantren Arafah di Lampung Selatan, peristiwa Isra' Mi'raj tidak sekadar kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pola dasar bagi setiap hamba yang ingin kembali kepada Allah. Bahkan, alur peristiwa ini teraplikasikan dalam sebuah amalan utama: shalat.
Shalat, Isra' Mi'raj dalam Kehidupan Sehari-hari
Buya Rusfi menyampaikan bahwa Isra' Mi'raj dan shalat memiliki tujuan yang sama, yaitu menghadap Allah. Dalam Isra' Mi'raj, Nabi Muhammad dibimbing oleh malaikat Jibril, sedangkan dalam shalat, kita dibimbing oleh hati dan akal untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Shalat bukan sekadar gerakan fisik, melainkan perjalanan spiritual, di mana tubuh dan ruh bersatu untuk mencapai ridha Allah.
"Secara syariat, tubuh kita yang melakukan shalat, tapi secara hakikat, ruh kita yang benar-benar menghadap Allah," jelas Buya Rusfi.
Tubuh menghadap Allah melalui rangkaian syariat seperti wudhu, menghadap kiblat, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, ruku', i'tidal, dan sujud. Namun, ruh menghadap Allah dengan perjalanan mi'raj, yakni upaya batiniah mendekatkan diri kepada-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ashalatul mi'rajul mukminin---shalat adalah perjalanan mi'raj seorang mukmin.
Ruh Sebagai Cerminan Allah
Makna mendalam lainnya, menurut Buya Rusfi, terletak pada pengertian "mukmin." Mukmin bukan sekadar orang yang beriman, tetapi ruh seorang mukmin adalah cerminan dari salah satu nama Allah, yaitu Al-Mukmin. Dengan kata lain, ruh manusia adalah bayangan dari sifat-sifat Allah.
Ketika seorang mukmin benar-benar menyadari bahwa dirinya hanya cerminan, ia akan naik dari tingkat mudas (yang di bawah) ke khadim (yang di atas). Jika seseorang masih merasa "aku" yang shalat, berarti ia belum sampai pada hakikat mi'raj dalam shalat. "Secara hakikat, shalat itu tidak sah jika kita masih merasa kita yang shalat," ujar Buya Rusfi dengan tegas.