Namun, tidak semua siswa merasakan hal yang sama. Amila, siswi kelas 6 di SDN 21 Palu, mengungkapkan kegelisahannya.
"Kalau libur terlalu lama, nanti pelajarannya susah dikejar. Apalagi kalau mau masuk SMP, pasti banyak ujian," ujarnya sambil mengernyitkan dahi.
Solusi Kreatif dari Komunitas Pendidikan
Di tengah perdebatan yang muncul, beberapa komunitas pendidikan mulai menawarkan solusi inovatif. Forum Guru Inovatif di Sulawesi Tengah, misalnya, mengusulkan model pembelajaran fleksibel.
"Alih-alih libur penuh, mungkin bisa diterapkan pengurangan jam belajar atau pembelajaran daring. Dengan teknologi, siswa tetap bisa belajar meskipun dari rumah," kata Aminah, salah satu anggotanya.
Beberapa sekolah berbasis agama di Palu juga telah lama menerapkan kegiatan khusus selama Ramadhan, seperti pesantren kilat atau lomba hafalan Al-Qur'an. Menurut Nurhaliza, kepala sekolah di salah satu pesantren modern, kegiatan semacam ini bisa menjadi inspirasi bagi sekolah lain.
"Selama Ramadhan, fokus utama adalah pendidikan karakter. Jadi, meskipun siswa libur, mereka tetap terlibat dalam aktivitas yang bermakna," jelasnya.
Menanti Keputusan Final
Hingga kini, keputusan final dari Kemendikbudristek belum diumumkan. Namun, survei yang melibatkan suara masyarakat ini menjadi langkah awal yang penting untuk menentukan arah kebijakan yang tepat.
Menurut Soedarsono Saidi, seorang konsultan Kurikulum Merdeka, kebijakan semacam ini membutuhkan pendekatan seimbang. "Libur panjang bisa menjadi berkah jika dirancang dengan baik. Tapi tanpa perencanaan yang matang, siswa justru bisa kehilangan momentum belajar," katanya.
Ramadhan adalah bulan yang istimewa, tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk mendekatkan diri dengan keluarga dan komunitas. Kebijakan apa pun yang diambil terkait pendidikan selama bulan ini seharusnya membawa manfaat yang seimbang bagi semua pihak.