Namun, Latifah juga menyuarakan kekhawatirannya. "Libur panjang berarti ada materi yang harus dikejar nanti. Kami, para guru, harus lebih kreatif menyusun rencana pembelajaran agar siswa tidak ketinggalan."
Ahmad Fauzan, seorang guru agama di sebuah SMP di Sigi, melihat peluang lain dari kebijakan ini. "Libur Ramadhan bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat pendidikan karakter berbasis agama," ujarnya.
Fauzan membayangkan program-program seperti pesantren kilat atau kegiatan berbasis masjid yang dirancang secara terstruktur dapat menjadi solusi yang bermanfaat. Namun, ia menekankan pentingnya panduan dari pemerintah agar kegiatan-kegiatan tersebut berjalan dengan baik.
Orang Tua: Dilema antara Produktivitas dan Kebersamaan
Dari sisi orang tua, pendapat yang muncul cukup beragam. Lina, seorang ibu dari tiga anak yang bekerja sebagai karyawan di Palu, merasa libur sebulan penuh selama Ramadhan adalah tantangan tersendiri.
"Anak-anak tetap harus belajar, meskipun libur. Kalau tidak, mereka bisa kehilangan ritme belajar," katanya. Ia mengusulkan adanya tugas-tugas ringan, seperti jurnal Ramadhan atau proyek kreatif, agar anak-anak tetap produktif.
Namun, ada juga orang tua seperti Suadi, seorang pekerja lepas, yang melihat sisi positif dari kebijakan ini.
"Ramadhan adalah waktu untuk keluarga. Kalau anak-anak libur, kami bisa lebih sering berbuka puasa bersama, tarawih, dan mengikuti kegiatan sosial," ujarnya dengan optimisme.
Siswa: Antara Euforia dan Kekhawatiran
Bagi sebagian siswa, libur panjang selama Ramadhan terdengar seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Rayyan, siswa kelas 7 di SMPN 2 Palu, membayangkan waktunya diisi dengan tadarus bersama teman-teman.
"Libur itu enak, tapi kalau bisa ada tugas-tugas ringan biar kami tidak lupa pelajaran," ungkapnya.