Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Petualangan Guru Ngab, Mimpi dan Kapur di Tahun 50-an

13 Januari 2025   23:18 Diperbarui: 13 Januari 2025   23:18 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi yang menggambarkan seorang guru sedang mengajar anak-anak di bawah pohon besar di era tahun 1950-an (generated AI

Bayangkan hidup di Indonesia tahun 50-an. Waktu itu belum ada TikTok, apalagi Wi-Fi. Tapi ada semangat yang berkobar lebih dari kembang api malam tahun baru. Kalau saya diberi kesempatan jadi orang Indonesia di masa itu, mungkin saya akan memilih menjadi... guru ngab!

Bukan cuma guru biasa, tapi guru yang ngajarin ABC sambil nyebarin vibes positif buat Indonesia yang baru bebas dari penjajahan.

Pagi di desa kecil. Angin sejuk menyapa, ayam berkokok semangat (walau kita tahu, dia cuma lapar). Anak-anak dengan kaki telanjang, baju seadanya, tapi mata mereka? Bersinar lebih terang dari lampu minyak.

Itu momen epik yang saya bayangkan: saya berdiri di depan kelas, dengan kapur di tangan dan papan tulis yang lebih mirip kayu lapuk daripada media edukasi.

"Anak-anak, siapa tahu siapa presiden kita sekarang?"
"Sukarno, Bu Guru!" jawab mereka serempak.

Walau seadanya, kebahagiaan mereka bikin lelah saya hilang. Harus diakui, jadi guru di zaman itu bukan soal gaji (karena mungkin bayaran saya cuma beras), tapi soal hati.

Anak-anak belajar bukan cuma baca tulis, tapi belajar bermimpi. Mereka mulai percaya kalau dunia lebih luas dari sawah yang mereka lewati setiap hari.

Bayangkan saya jalan kaki ke desa-desa lain sambil bawa tumpukan buku lusuh di keranjang bambu. Rasanya kayak jadi Dora the Explorer versi lokal! Saya datang ke rumah para petani yang sibuk nyabit rumput atau ibu-ibu yang sibuk nampi beras. "Bu, malam ini belajar ya? Bawa lampu minyak dan niat."

Di kelas malam, para orang dewasa berjuang mengucapkan huruf demi huruf. "A... B... C...," kata mereka sambil mengerutkan dahi. Suara-suara mereka adalah musik indah di telinga saya. Meski tangan mereka kasar karena cangkul, hati mereka halus menerima ilmu baru. Saya? Bangga abis. Dalam kegelapan malam, lampu minyak menyala, dan begitu juga harapan mereka.

Di masa itu, stigma bahwa perempuan cuma "layak di dapur" masih kental. Tapi saya? Anti mainstream! Saya pasti jadi pendukung utama emansipasi. Saya datangi para bapak dan bilang, "Pak, anak perempuan juga berhak sekolah. Jangan cuma disuruh ngupas singkong."

Mungkin ada yang melotot, tapi ada juga yang akhirnya mengangguk. Anak-anak perempuan mulai datang ke sekolah. Awalnya malu-malu, tapi lama-lama mereka jadi bintang kelas. Saya yakin, kalau itu terjadi, Indonesia bakal punya Kartini-Kartini baru yang siap bikin gebrakan.

Jadi Guru, Tapi Juga Influencer (Versi 50-an)

Di masa 50-an, nggak ada platform sosial media. Tapi diskusi-diskusi intelektual? Itu ibarat Twitter thread zaman dulu. Saya pasti ikut nongkrong di warung kopi bareng pemuda-pemudi. Di sana, kami ngobrol soal ide-ide besar.

Saya bayangkan diri saya berdiri sambil berkata, "Sobat-sobat muda, Indonesia ini kan kaya budaya. Ayo kita rawat keberagaman ini!" Semua manggut-manggut sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang pahitnya lebih dari kenangan.

Mengajarkan Kemandirian Lewat Kebun Sekolah

Guru ngab nggak cuma ngajarin matematika, tapi juga life skills. Di halaman sekolah, saya ajak anak-anak bercocok tanam. "Ayo tanam jagung! Nanti bisa buat camilan pas sore." Anak-anak tertawa sambil mencangkul tanah.

Kegiatan ini nggak cuma bikin mereka paham siklus tanaman, tapi juga ngajarin mereka bahwa hidup adalah soal usaha. Kalau mau makan, ya tanam dulu. Kalau mau sukses, ya belajar dulu. Dan yang paling penting, mereka belajar bekerja sama.

Di akhir hari, saya duduk di bawah pohon besar, dikelilingi anak-anak yang mengunyah singkong rebus sambil tertawa. Mereka cerita mimpi-mimpi mereka. Ada yang mau jadi dokter, ada yang mau jadi pilot. Saya mendengarkan sambil tersenyum.

Walau hidup di desa terpencil, mereka tahu bahwa dunia ini luas. Dan saya? Bangga menjadi bagian dari perjalanan mereka. Sebab, saya percaya, di setiap anak yang bermimpi besar, ada masa depan cerah untuk Indonesia.

Kalau saya hidup di era itu, saya ingin jadi lebih dari sekadar guru. Saya mau jadi pembawa harapan, influencer lokal, pejuang literasi, dan agen perubahan. Hidup mungkin sederhana, tapi hati saya penuh. Setiap huruf yang saya ajarkan, setiap benih yang saya tanam di hati anak-anak, adalah investasi untuk bangsa.

Jadi, kalau waktu benar-benar bisa diputar kembali, ya, saya nggak ragu-ragu: saya akan kembali ke tahun 50-an dan jadi guru ngab paling hits di desa. Sebab, di balik papan tulis reyot dan kapur yang cepat habis, ada sebuah cita-cita: membuat Indonesia yang lebih cerdas, lebih mandiri, dan lebih bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun