Mungkin ada yang melotot, tapi ada juga yang akhirnya mengangguk. Anak-anak perempuan mulai datang ke sekolah. Awalnya malu-malu, tapi lama-lama mereka jadi bintang kelas. Saya yakin, kalau itu terjadi, Indonesia bakal punya Kartini-Kartini baru yang siap bikin gebrakan.
Jadi Guru, Tapi Juga Influencer (Versi 50-an)
Di masa 50-an, nggak ada platform sosial media. Tapi diskusi-diskusi intelektual? Itu ibarat Twitter thread zaman dulu. Saya pasti ikut nongkrong di warung kopi bareng pemuda-pemudi. Di sana, kami ngobrol soal ide-ide besar.
Saya bayangkan diri saya berdiri sambil berkata, "Sobat-sobat muda, Indonesia ini kan kaya budaya. Ayo kita rawat keberagaman ini!" Semua manggut-manggut sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang pahitnya lebih dari kenangan.
Mengajarkan Kemandirian Lewat Kebun Sekolah
Guru ngab nggak cuma ngajarin matematika, tapi juga life skills. Di halaman sekolah, saya ajak anak-anak bercocok tanam. "Ayo tanam jagung! Nanti bisa buat camilan pas sore." Anak-anak tertawa sambil mencangkul tanah.
Kegiatan ini nggak cuma bikin mereka paham siklus tanaman, tapi juga ngajarin mereka bahwa hidup adalah soal usaha. Kalau mau makan, ya tanam dulu. Kalau mau sukses, ya belajar dulu. Dan yang paling penting, mereka belajar bekerja sama.
Di akhir hari, saya duduk di bawah pohon besar, dikelilingi anak-anak yang mengunyah singkong rebus sambil tertawa. Mereka cerita mimpi-mimpi mereka. Ada yang mau jadi dokter, ada yang mau jadi pilot. Saya mendengarkan sambil tersenyum.
Walau hidup di desa terpencil, mereka tahu bahwa dunia ini luas. Dan saya? Bangga menjadi bagian dari perjalanan mereka. Sebab, saya percaya, di setiap anak yang bermimpi besar, ada masa depan cerah untuk Indonesia.
Kalau saya hidup di era itu, saya ingin jadi lebih dari sekadar guru. Saya mau jadi pembawa harapan, influencer lokal, pejuang literasi, dan agen perubahan. Hidup mungkin sederhana, tapi hati saya penuh. Setiap huruf yang saya ajarkan, setiap benih yang saya tanam di hati anak-anak, adalah investasi untuk bangsa.
Jadi, kalau waktu benar-benar bisa diputar kembali, ya, saya nggak ragu-ragu: saya akan kembali ke tahun 50-an dan jadi guru ngab paling hits di desa. Sebab, di balik papan tulis reyot dan kapur yang cepat habis, ada sebuah cita-cita: membuat Indonesia yang lebih cerdas, lebih mandiri, dan lebih bahagia.