Perang dagang bukan lagi sekadar tentang tarif tinggi atau embargo perdagangan. Kini, teknologi menjadi medan tempur baru dalam upaya mengukuhkan dominasi global.
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, baru-baru ini mengumumkan rencana pembatasan ekspor chip kecerdasan buatan (AI) untuk pusat data ke sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini menjadi langkah terbaru dalam perang teknologi informasi, yang dampaknya diprediksi akan jauh melampaui sekadar isu perdagangan semata.
Bagi Indonesia, kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendalam: bagaimana posisi kita dalam konstelasi global yang kian kompleks ini? Apakah Indonesia sekadar menjadi penonton, atau justru mampu memanfaatkan peluang di tengah dinamika tersebut?
Pembatasan Chip dan Posisi Indonesia
AS, dalam kebijakan terbarunya, membagi negara-negara dunia ke dalam tiga kategori (tier) berdasarkan hubungan diplomatik dan risiko terhadap keamanan nasional. Indonesia, bersama sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, ditempatkan pada kategori Tier 2.
Negara-negara di kategori ini tetap dapat mengimpor perangkat keras AI dari AS, namun dengan pembatasan jumlah maksimal hingga 50.000 unit pemrosesan grafis (GPU) antara 2025 dan 2027. Sementara itu, negara-negara seperti China dan Rusia yang masuk kategori Tier 3 dilarang sama sekali mengimpor teknologi tersebut.
Langkah ini merupakan strategi AS untuk melindungi inovasi domestiknya sekaligus membatasi potensi penyalahgunaan teknologi AI oleh negara-negara yang dianggap sebagai ancaman. Namun, keputusan tersebut tak lepas dari kritik, termasuk dari perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, yang menilai pembatasan ini dapat merugikan ekonomi global, khususnya industri AI.
Indonesia di Tengah Perang Teknologi
Bagi Indonesia, kebijakan ini membawa dampak ganda. Di satu sisi, masuknya Indonesia dalam Tier 2 menunjukkan hubungan diplomatik yang cukup baik dengan AS. Namun, pembatasan ini juga memunculkan tantangan, khususnya bagi industri data center dan komputasi berbasis AI yang sedang berkembang pesat di Tanah Air.
Ian Yosef M. Edward, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, melihat peluang di balik pembatasan ini. Menurutnya, hubungan baik Indonesia dengan AS dapat dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan infrastruktur data center berbasis AI.
Kebijakan ini, jika dikelola dengan baik, justru bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangun kemandirian teknologi, memanfaatkan sumber daya manusia lokal, dan meningkatkan daya saing global.
Namun, di sisi lain, pemerintah harus waspada terhadap potensi dampak negatif. Tanpa mitigasi yang tepat, pembatasan ini dapat menghambat perkembangan industri teknologi informasi di Indonesia.
Hal ini terutama penting mengingat Indonesia merupakan bagian dari BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), kelompok negara berkembang dengan potensi ekonomi besar. Sebagai anggota BRIC, Indonesia diharapkan mampu menunjukkan ketahanan ekonomi dan diplomasi yang matang di tengah tekanan global.
Peluang dan Tantangan di Era AI
Kehadiran teknologi AI di Indonesia sebenarnya telah memberikan dampak positif di berbagai sektor, mulai dari layanan kesehatan hingga sektor keuangan. Namun, ketergantungan pada teknologi impor, terutama dari AS, menjadi salah satu kelemahan utama.
Kebijakan pembatasan ekspor chip ini harus menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku industri untuk mulai membangun ekosistem teknologi yang mandiri.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendorong riset dan pengembangan (R&D) di dalam negeri. Pemerintah perlu berinvestasi lebih besar dalam pendidikan teknologi dan inovasi, termasuk menjalin kerja sama dengan negara-negara lain yang tidak terdampak kebijakan pembatasan AS.
Selain itu, penguatan kerja sama regional dengan negara-negara ASEAN juga menjadi kunci untuk menciptakan jaringan teknologi yang lebih inklusif.
Namun, membangun ekosistem teknologi bukanlah tugas mudah. Infrastruktur teknologi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan akses internet di daerah terpencil hingga kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni.
Di sinilah pentingnya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini.
Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara berkembang dengan potensi ekonomi besar. Sebagai bagian dari BRIC, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemain utama dalam industri teknologi global. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia harus mampu memainkan diplomasi teknologi dengan cerdas.
Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah memperkuat hubungan dengan negara-negara anggota BRIC lainnya, khususnya China dan India, yang memiliki keunggulan dalam teknologi AI. Selain itu, Indonesia juga perlu memperkuat hubungan dengan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), yang merupakan kelompok negara maju dengan fokus pada perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi.
Diplomasi teknologi ini tidak hanya penting untuk memastikan akses terhadap teknologi canggih, tetapi juga untuk memitigasi dampak dari kebijakan proteksionis seperti yang diterapkan oleh AS. Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa sebagai negara berkembang, kita juga memiliki kontribusi besar dalam perekonomian global.
Kebijakan Joe Biden untuk membatasi ekspor chip AI ke Indonesia adalah pengingat bahwa di era globalisasi ini, teknologi menjadi komoditas yang sangat strategis. Bagi AS, kebijakan ini mungkin merupakan langkah untuk mempertahankan dominasi dalam inovasi teknologi. Namun, bagi negara-negara seperti Indonesia, kebijakan ini harus menjadi momentum untuk introspeksi dan transformasi.
Harapan besar terletak pada kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan peluang di tengah tantangan ini. Dengan hubungan diplomatik yang baik dengan AS, Indonesia dapat menjadikan momen ini sebagai peluang untuk membangun kemandirian teknologi, meningkatkan investasi dalam pendidikan dan inovasi, serta memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkret. Kebijakan yang jelas, investasi yang tepat, dan dukungan terhadap riset dan pengembangan menjadi kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam perang teknologi ini, tetapi juga pemain aktif yang mampu bersaing di kancah global.
Kebijakan pembatasan ekspor chip AI oleh AS adalah tantangan besar, tetapi juga peluang emas bagi Indonesia untuk membangun kemandirian teknologi. Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa kita memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri teknologi global.
Dengan memanfaatkan hubungan baik dengan AS dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain, Indonesia dapat membangun ekosistem teknologi yang mandiri, inklusif, dan berdaya saing tinggi. Masa depan teknologi Indonesia terletak pada kemampuan kita untuk melihat peluang di tengah tantangan, dan mengambil langkah strategis untuk mencapainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H