Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi 'Powati' Suku Da'a: Jejak Leluhur di Ambang Senja

2 Januari 2025   17:05 Diperbarui: 2 Januari 2025   17:05 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi proses tradisi Powati dari suku Kaili Da'a (generated AI)

Di pelosok Sulawesi Tengah, tepatnya di lereng Gunung Gawalise, tradisi unik bernama Powati masih menyimpan sepotong kisah warisan budaya Suku Da'a Kaili. Dalam upacara ini, seorang bayi laki-laki yang baru berusia tiga bulan menjadi pusat perhatian.

Kakinya diikat dengan rumput wintu, tanaman lokal yang tangguh bahkan di musim kering. Tak hanya itu, ekor babi yang dilubangi dipasang sebagai gelang kaki, memberi kesan bahwa bayi tersebut tengah memulai perjalanan hidupnya dengan simbol kekuatan dan keberanian.

Puncak acara Powati penuh dengan simbolisme yang menggugah. Bayi laki-laki tersebut didudukkan di atas seekor babi -- makhluk yang bagi masyarakat Da'a merupakan lambang kesejahteraan.

Di dekat alat kelamin sang bayi, gulungan daun pisang diletakkan, lalu diiris oleh ketua adat menggunakan pisau sebagai simbol penyunatan. Usai prosesi ini, bayi dimandikan di mata air khusus yang airnya dialirkan dari sumber alami.

Semua orang yang hadir lalu kembali ke rumah untuk menikmati santapan bersama, dipimpin oleh ketua adat. Dalam tradisi ini, setiap detail menyiratkan rasa syukur atas kelahiran seorang anak sebagai titipan Sang Pencipta.

Simbol-Simbol Kaya Makna

Berbeda untuk bayi perempuan, pelaksanaan Powati memiliki sentuhan lebih lembut. Bayi perempuan dimandikan dan dikeramasi dengan campuran santan kelapa dan kunyit yang telah dikunyah oleh bibinya. Ini menjadi simbol pembersihan dan persiapan menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Tak ada daun pisang yang diiris di sini; sebaliknya, simbol pemotongan digantikan dengan ritual pembersihan gigi. Setelah dimandikan, anak perempuan diberi suapan pertama oleh ketua adat sebelum akhirnya semua orang menyantap makanan bersama.

Tak hanya serangkaian ritual, Powati juga membutuhkan persiapan bahan yang cukup rumit. Daun Kamonji, silaguri, vunga, dan berbagai bahan lainnya diikat dengan rumput wintu dan diletakkan di atas nyiru -- nampan tradisional yang kerap digunakan dalam upacara adat. Ini menandakan bahwa upacara ini adalah persembahan terbaik kepada leluhur dan Sang Pencipta.

Suku Da'a dan Jejak Kehidupannya

Suku Da'a, atau yang sering disebut sebagai Topo Da'a, merupakan kelompok etnis Suku Kaili yang bermukim di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Masyarakat suku ini sebagian besar hidup di daerah pegunungan, seperti Gunung Gawalise, serta di lembah-lembah Kabupaten Sigi dan Donggala.

Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam, dengan padi ladang dan umbi-umbian seperti talas dan ubi kayu sebagai makanan pokok.

Di masa lalu, Suku Da'a mempraktikkan animisme, meyakini keberadaan roh-roh leluhur yang melindungi mereka. Namun, kepercayaan ini perlahan berubah seiring masuknya agama Kristen ke tanah mereka.

Tradisi Powati, yang dulunya menjadi bentuk penyunatan simbolik, kini sering kali digantikan oleh perayaan ulang tahun -- sebuah pengaruh modern yang melanda hampir setiap sudut kehidupan tradisional mereka.

Mengapa Powati Mulai Ditinggalkan?

Dalam perbincangan santai dengan Dekrius, seorang pemerhati budaya Suku Da'a, terungkap bahwa tradisi Powati kini sudah jarang dilaksanakan. "Bahannya banyak, sulit ditemukan, dan generasi muda tidak hafal lagi urutannya. Kalau salah-salah melaksanakan, bisa-bisa malah bencana," ungkapnya sembari menghela napas panjang. 

Selain itu, pandangan bahwa Powati bertentangan dengan ajaran agama turut memengaruhi penurunan popularitasnya.

Perayaan ulang tahun, dengan segala kesederhanaannya, menjadi alternatif yang lebih populer. Tidak perlu rumput wintu atau babi, hanya kue ulang tahun dan lilin yang cukup untuk membuat anak-anak tersenyum. Masyarakat modern Suku Da'a merasa bahwa tradisi baru ini lebih praktis dan relevan dengan kehidupan mereka sekarang.

Antara Tradisi dan Modernitas

Menyaksikan perubahan ini, ada perasaan ambivalen yang menghantui. Di satu sisi, perubahan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Namun di sisi lain, kehilangan tradisi seperti Powati berarti kehilangan identitas yang sudah terbentuk selama berabad-abad.

Dalam pelaksanaan Powati, ada nilai-nilai luhur seperti gotong-royong, rasa syukur, dan penghormatan kepada leluhur yang sulit digantikan oleh perayaan ulang tahun.

Meski begitu, upaya melestarikan tradisi ini masih bisa dilakukan. Misalnya, dengan mendokumentasikan ritual Powati dalam bentuk tulisan atau video, generasi muda tetap bisa mengenal tradisi ini meski tidak melaksanakannya secara langsung.

Selain itu, komunitas budaya lokal dapat mengadakan festival tahunan di mana tradisi seperti Powati dipentaskan sebagai bagian dari warisan budaya Suku Da'a.

Powati dalam Perspektif Baru

Apakah tradisi Powati benar-benar akan lenyap ditelan zaman? Belum tentu. Dalam konteks modern, tradisi ini dapat dimaknai ulang agar relevan dengan nilai-nilai kontemporer. Misalnya, unsur-unsur ritual yang dianggap bertentangan dengan agama bisa dihilangkan, sementara nilai-nilai positif seperti rasa syukur dan penghormatan terhadap kehidupan tetap dipertahankan.

Pada akhirnya, nasib Powati bergantung pada seberapa besar masyarakat Suku Da'a ingin mempertahankan identitas budayanya. Jika mereka mampu menyeimbangkan tradisi dengan modernitas, Powati mungkin masih punya tempat di masa depan, meskipun dengan bentuk yang berbeda.

Sebuah Renungan

Tradisi Powati bukan sekadar ritual. Ia adalah cerminan hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan Sang Pencipta. Melalui Powati, kita diajak untuk merenungkan betapa pentingnya rasa syukur atas kehidupan.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini menghadapi tantangan besar dari perubahan budaya dan teknologi.

Powati mungkin tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Da'a. Namun, selama nilai-nilainya masih hidup dalam hati mereka, tradisi ini takkan pernah benar-benar hilang.

Jadi, mari kita belajar dari Powati, menghargai warisan budaya kita, dan memastikan bahwa cerita tentang rumput wintu, daun Kamonji, dan bayi yang duduk di atas babi tidak akan pudar begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun