Nah, yang bikin kepala rakyat tambah berasap adalah soal token listrik. Ada yang ingat janji pemerintah tentang diskon 50% untuk token listrik? Katanya, ini bagian dari program pro-rakyat juga. Tapi, coba beli token listrik Rp200 ribu---tetap bayar Rp200 ribu juga! Diskonnya entah nyasar ke mana.
Salah satu warga yang mencoba membeli token listrik mengatakan, "Diskon 50 persen? Ya cuma ada di mimpi. Saya bayar tetap Rp200 ribu kok!"
Jadi, apakah janji ini hanya ilusi, atau memang perlu menunggu keajaiban birokrasi?
Isu kenaikan PPN ini seperti sinetron dengan alur bolak-balik. Sejak awal Desember, tarik ulur keputusan ini bikin rakyat bingung. Naik jadi 12%, terus nggak jadi. Tapi kok tetap ada drama soal barang mewah vs barang biasa?
Barang mewah seperti apa yang kena PPN 12%? Apakah TV layar datar 70 inci? Atau sekadar sepatu kulit buaya? Sementara itu, barang biasa tetap 11%, tapi bagaimana memastikan harga-harga di pasar tidak ikut melonjak?
Dalam situasi seperti ini, mungkin rakyat cuma bisa tertawa getir. Kebijakan pajak sering kali terasa seperti joke internal pemerintah yang rakyat tidak diajak paham.
Kalau benar pemerintah ingin pro-rakyat, mengapa tak langsung saja memastikan semua janji terealisasi? Token listrik diskon 50% itu misalnya. Karena kalau tidak, bukan cuma PPN yang bikin sakit kepala, tapi juga rasa tertipu janji manis.
Jadi, begitulah kisah PPN 12% dan drama token listrik. Apakah ini semua bagian dari rencana besar pemerintah, atau hanya taktik bertahan 100 hari?
Kita tunggu saja kelanjutannya. Sementara itu, rakyat hanya berharap satu hal: kalau janji, tolong ditepati. Karena, seperti kata pepatah, "Janji adalah utang, dan rakyat sudah bosan menagih."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H