Pada 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan mulai memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kenaikan ini tentunya akan mempengaruhi banyak pihak, termasuk nasabah yang menggunakan layanan Bursa Efek Indonesia (BEI) serta berbagai sektor jasa lainnya yang mengenakan tarif PPN.
Bagi nasabah, perubahan tarif PPN ini akan langsung terasa pada tagihan mereka. Setiap invoice dan faktur pajak yang diterbitkan pada atau setelah 1 Januari 2025 akan mengenakan tarif PPN yang baru, yakni 12%, sedangkan faktur yang diterbitkan sebelum tanggal tersebut tetap mengikuti tarif lama sebesar 11%.
Walaupun perubahan tarif ini tampaknya kecil, 1% tambahan akan berdampak signifikan, terutama pada transaksi dalam jumlah besar atau bagi mereka yang bertransaksi secara rutin di sektor keuangan.
Bagi dunia usaha, dampak dari kenaikan tarif ini akan terasa dalam bentuk kenaikan biaya transaksi. Perusahaan yang tergantung pada layanan yang dikenakan PPN, seperti layanan keuangan atau perdagangan saham, harus menyesuaikan anggaran mereka untuk menghadapi pengeluaran yang lebih tinggi.
Meskipun 1% mungkin tidak tampak besar, bagi perusahaan dengan volume transaksi yang tinggi, pengaruhnya bisa sangat signifikan.Â
Selain itu, kenaikan ini juga berpotensi menambah beban bagi nasabah yang mengandalkan layanan tersebut untuk kegiatan bisnis sehari-hari.
Di sisi lain, meski perubahan ini dapat menyebabkan lonjakan biaya, para pelaku bisnis memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri.Â
Salah satu strategi yang bisa diambil adalah dengan mempercepat pembayaran untuk tagihan yang diterbitkan sebelum 1 Januari 2025, agar tetap dikenakan tarif 11%.
Langkah seperti ini, meskipun sederhana, bisa membantu mengurangi dampak finansial dari perubahan tarif PPN yang baru. Pengelolaan cash flow yang tepat juga akan menjadi kunci agar perubahan tarif pajak ini tidak merugikan secara signifikan.