karapan sapi---sebuah tradisi yang lebih dari sekadar perlombaan.
Terik matahari yang menyengat tak menjadi halangan. Ratusan orang memadati Lapangan Desa Baliase, Kecamatan Marawola, Sigi, Sulawesi Tengah, untuk menyaksikanBegitu bendera start berkibar, para joki beraksi, memacu pasangan sapi mereka dengan kecepatan maksimal. Sorak-sorai menggema, menciptakan suasana yang begitu hidup.
Tahun ini, sebanyak 125 pasang sapi turut berlaga, terbagi dalam dua kategori: Mini Compo (pemula) dan Karapan Bergengsi (besar). Kategori mini compo diikuti oleh 90 pasang sapi, sementara kelas bergengsi melibatkan 35 pasang sapi pilihan.Â
Selama dua minggu, mulai Sabtu, 21 Desember 2024, karapan ini menjadi magnet bagi warga sekitar dan pengunjung dari berbagai daerah.
Lomba yang Sarat Prestise dan Gengsi
Karapan sapi bukan hanya soal adu cepat, melainkan juga gengsi. Nama pemilik sapi yang keluar sebagai juara akan terangkat tinggi, diiringi kebanggaan besar yang tak ternilai.Â
Namun, di balik semangat kompetisi, karapan ini juga menjadi dunia tersendiri bagi para penjudi. Bursa taruhan meriah di garis finish, dengan nominal taruhan yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Rute sepanjang 300 meter menjadi arena pertarungan. Dalam hitungan 16-18 detik, pasangan sapi terbaik akan mencapai garis finish.Â
Namun, waktu yang begitu singkat sering memicu ketegangan.Â
Protes kerap muncul jika hasil dianggap tak adil, tetapi panitia sudah siap. Kamera canggih dipasang di garis finis untuk memastikan hasil akurat, yang kemudian ditayangkan di layar lebar.
"Ini supaya semua pihak puas dan tidak ada perselisihan," ujar panitia  dengan tegas.
Persiapan yang Tak Main-Main
Di balik kecepatan dan kekuatan sapi-sapi karapan, ada dedikasi luar biasa dari para pemiliknya. Sebulan sebelum perlombaan, sapi-sapi ini dirawat dengan perlakuan istimewa. Sukman, salah satu peserta asal Bambarimi, Donggala, membagikan kisahnya.
Sapi miliknya, yang diberi nama Cantik Manis, menjalani perawatan intensif. Setiap dua hari, sapi-sapi ini berenang di sungai untuk melatih stamina.Â
Mereka dimandikan empat kali sehari, lengkap dengan ramuan khusus yang melumuri tubuh untuk mengendurkan otot.
Porsi makanan pun ditambah, dengan campuran racikan tradisional dan telur ayam---sebanyak 50 butir per hari.Â
"Semua ini demi daya tahan dan kecepatan maksimal," kata Sukman.
Pemilik sapi lain, Hery, pemilik sapi Kamandanu asal Binangga, Sigi, mengaku bahwa perawatan seperti ini adalah investasi besar. Biaya perawatan bisa mencapai Rp 2 juta per bulan. Namun, hasilnya sebanding.Â
"Kalau menang, nilai sapi bisa naik berkali lipat. Kebanggaannya juga tak ternilai," ujarnya.Â
Kemenangan yang Membawa Kebanggaan dan Rezeki
Momen kemenangan dalam karapan sapi adalah kebanggaan tak terhingga bagi pemiliknya. Selain hadiah uang tunai dan seekor sapi bagi juara pertama, nilai jual sapi pemenang biasanya melonjak drastis.Â
Bahkan, sapi juara sering ditawar hingga puluhan juta rupiah per ekornya.
Namun, lebih dari sekadar hadiah, karapan sapi adalah lambang tradisi, kebersamaan, dan kerja keras. Dalam setiap sorakan penonton, setiap ayunan cambuk joki, dan setiap langkah sapi menuju garis finish, ada nilai-nilai yang terus dirawat dan dilestarikan oleh masyarakat.
Karapan sapi bukan hanya tentang siapa yang tercepat. Ia adalah cerita tentang gengsi, kerja keras, dan rasa bangga akan tradisi yang hidup.Â
Untuk masyarakat Sigi dan sekitarnya, karapan sapi adalah jantung budaya yang terus berdenyut, menyatukan semua dalam semangat kompetisi yang hangat dan penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H