Di bawah terik matahari yang menyengat, Suadi, seorang pria berusia 47 tahun, tampak sibuk mengayunkan sekopnya. Butiran pasir berterbangan setiap kali sekop itu terhunjam ke tumpukan pasir di Sungai Palupi Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Topi lusuh yang ia kenakan sesekali harus dibetulkan posisinya agar tidak jatuh akibat gerakannya yang tiada henti. Meski begitu, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
Suadi adalah seorang penambang pasir tradisional atau yang biasa disebut "buser" dalam bahasa Kaili, yang berarti buruh sero atau penyekop pasir.
Ia adalah pria kelahiran 1974, warga Pengavu, yang setiap hari mengandalkan sebuah sekop sebagai modal untuk menghidupi istri dan keempat anaknya.
"Modalnya cuma sekop ini," ujarnya sambil memperlihatkan alat sederhana yang telah menemaninya selama lebih dari satu dekade bekerja di Sungai Palupi.
Kerja Keras di Tengah Pasang Surut Hidup
Hari-hari Suadi dimulai pukul 7.30 pagi dan baru berakhir menjelang matahari terbenam. Dengan penuh semangat, ia dan beberapa rekan seprofesi menyekop pasir untuk mengisi truk yang datang memesan.
Butuh sekitar setengah jam untuk memenuhi satu truk dengan pasir, dan itu dilakukan secara gotong royong oleh empat hingga enam orang.
"Dalam sehari, biasanya kami bisa mengisi lima truk penuh. Tapi itu kalau cuaca mendukung dan ada banyak pesanan. Kalau sedang hujan atau air sungai meluap, kami terpaksa libur," kata Suadi.
Satu truk pasir dihargai Rp120 ribu, dan pendapatan itu dibagi rata di antara mereka. Suadi biasanya membawa pulang Rp80 ribu hingga Rp90 ribu per hari jika pesanan sedang ramai. Namun, ada kalanya ia harus puas dengan penghasilan jauh lebih kecil.
"Kadang hasilnya bagus, kadang kurang. Tapi tetap saya syukuri. Yang penting keluarga bisa makan," ucapnya sambil tersenyum.