Mohon tunggu...
Ikhlas Prasongko
Ikhlas Prasongko Mohon Tunggu... Administrasi - IT/Pendaki/Fotografer

Penikmat kata/gambar/nada

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menakar "Bumi Manusia" dengan "Kartini"

11 Januari 2019   12:07 Diperbarui: 25 Januari 2019   09:09 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Berawal dari suka cita dan penasaran saat membaca berita tentang novel sastra Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang akan difilmkan, saya mencoba mengukur ekspektasi sebelum nanti menonton filmnya. Sebagai referensinya adalah film Kartini. Memang tidaklah adil menakar 2 barang sebelum keduanya terpegang di kedua tangan.  Tapi sekali lagi tulisan ini hanyalah mengukur sebuah ekspektasi.
Kenapa pilih film Kartini? Karena yang menggarap juga Hanung Bramantyo dan setting filmnya pun di jaman yang sama. Diselipkan di salah satu bagian cerita dimana Minke sebagai Tokoh Utama di Bumi Manusia terinspirasi dengan Kartini yang sama-sama masih muda. Artinya setting film Bumi Manusia tidak beda dengan Kartini. Jaman Kolonial di pergantian abad 19. Bedanya hanya di lokasi, Kartini di Jepara dan Bumi Manusia di Surabaya. Walaupun kenyataannya lokasi shooting kedua fim ini sama-sama bukan di kota yang dikisahkan dalam cerita. Keduanya lebih banyak mengambil shooting di Jogjakarta dan Semarang

Akankah Kota Surabaya di jaman kolonial nantinya tervisualisasi dengan baik ? Karena di novel diceritakan dengan detail bagaimana daerah seperti Kranggan, Wonokromo, dan Tulangan Sidoarjo pada saat itu. Karena di 3 lokasi itulah kisah Minke sebagai tokoh utama di episode Bumi Manusia ini. Sempat terbayang jika dulu jadi difilmkan oleh Oliver Stone. Kota Surabaya di jaman kolonial mungkin disajikan melalui teknologi CGI dengan detail & akurat layaknya film-film Hollywood. Tapi sayangnya sampai saat ini belum ada di industri film Indonesia, teknologi CGI benar-benar serius diterapkan dalam menghasilkan sebuah setting seperti yang diinginkan oleh sineas film.

Di film Kartini, suasana Kota juga Jepara tidak diperlihatkan.  Mungkin bagian produksi kesulitan mencari lokasi yang bisa menggambarkan dengan pas situasi kota Jepara di jaman kolonial. Di sisi lain, masalah ini juga bukan jadi perhatian utama. Toh penonton tidak akan mempertanyakannya. Penonton lebih difokuskan ke tokoh utamanya yakni Kartini.

Bagaimana jika Bumi Manusia juga seperti Kartini? Bagaimana jika tidak ada adegan dengan latar belakang suasana kota Surabaya di jaman kolonial? Hal ini tergantung dari kisah apa saja yang nanti disuguhkan? Jika kisah asmara Minke & Annelies sebagai cerita utamanya. Maka cukuplah setting filmnya seperti di Kartini. Tapi jika kisahnya lebih dari itu, dan semestinya memang tidak hanya kisah asmara saja. Karena ini adalah Bumi Manusia.  Maka kota Surabaya di jaman kolonial sebagai salah satu perwakilan dari 'bumi' selayaknya disuguhkan sesuai porsinya.

Tentang setting rumah, arsitektur, interior & eksterior. Tidak perlu diragukan. Di Film Kartini menunjukkan jika Hanung Bramantyo sangat detail dalam hal ini.

Bagaimana tentang kostum?  Film Kartini bisa dikatakan lumayan tapi belum sempurna.   Desain dan bahannya memang bagus,  malah terlalu bagus . Tapi justru hal ini membuat tidak wajar. Siapapun perannya, apakah itu pemeran utama, pemeran pembantu maupun figuran. Semua pakaian yang dikenakan terlalu rapi. Nyaris tidak ada noda, tidak ada warna yang luntur dan tidak ada yang kusut.  Mungkin tidak ada masalah jika kostumnya dipakai saat karnaval Tujuhbelasan.  Tapi jika dipakai untuk memerankan sebuah peran yang menggambarkan sebuah sejarah. Maka pakaian yang bagus tapi tidak wajar jadi kurang tepat.

Ada adegan di film Kartini, 3 anak desa mengejar Kartini saat naik dokar di hutan jati dengan memakai pakaian yang bersih & terlihat baru. Padahal diceritakan desanya jauh dibalik gunung. Ada lagi adegan saat melewati pasar, orang-orang yang ada di pasar juga menggunakan pakaian rapi dan terlihat baru.  Padahal di kehidupan nyata aktifitas orang dipasar pasti beraneka macam dan pakaiannya tidak akan selalu terjaga kebersihan dan kerapiannya.

Bagaimana dengan kostum yang nanti dipakai oleh pemain Bumi Manusia ? Kembali lagi, Bumi Manusia bukan hanya menceritakan tentang manusia saja. Bukan hanya menggambarkan apa yang melekat pada dirinya. Tapi juga tentang apa yang terjadi di sekitarnya.  Pakaian adalah representatif budaya dari sebuah generasi. Film Bumi Manusia bisa dikatakan berhasil dari sisi kostum jika bisa menggambarkan sisi lain dari sebuah budaya pada jaman itu secara tepat dan akurat.

Kalau plot cerita dan sinematografi,  Film Kartini bagus dan sepakat jika banyak menuai pujian dari kritikus.

Bagaimana nantinya dengan Bumi Manusia ? Ini adalah tantangan terbesarnya.   Karena novel Bumi Manusia bukan hanya 1 kisah, tapi banyak kisah. Banyak tokoh dengan latar belakangnya masing-masing. Sarat dengan nilai-nilai dan semangat perjuangan. Teramat banyak pesan yang bisa dijadikan sebagai tag-line sebuah film. Bukan hanya kisah asmara tapi juga tentang semangat mencari kebenaran dan keadilan. Pesan yang disampaikan juga sangat bermanfaat buat siapa saja.  Buat orang tua atau anak, guru atau murid, kekasih atau sahabat, pemimpin masyarakat atau pemimpin perusahaan. Semua pesan terselipkan dengan rapi dan dengan sewajarnya di bacaan sebanyak 418 halaman. Bagaimana bacaan sebanyak itu tersajikan dalam sebuah film? Katakanlah durasi filmnya 120 menit... atau maksimal 150 menit.  Ini bukanlah pekerjaan mudah buat siapapun yang menggarapnya.

Adaptasi film dari sebuah novel sastra dengan biografi mungkin hampir sama dalam pengerjaannya. Tapi gambaran seperti apa dari kisah yang dibaca berbeda. Novel sastra seperti Bumi Manusia, meskipun kisahnya terilhami dari riwayat seseorang. Yakni tokoh pers & kebangkitan nasional Raden Tirto Adhisoerjo. Tapi dalam pengisahannya memberikan ruang yang luas bagi pembacanya untuk berimajinasi. Tidak sama dengan biografi seperti Kartini yang terbatas dalam memberikan ruang imajinasi. Sedikit saja tidak akurat akan menuai kritik. Karena penonton bisa mendapatkan referensi dari mana saja.   Lewat literatur maupun kisah tidak tertulis yang diwariskan dari pelaku atau saksi sejarah saat itu.

Tapi dengan luasnya ruang imajinasi ini. Justru film adaptasi dari novel sastra mempunyai kesulitan sendiri. Karena tidak mudah memvisualisasikan sebuah imajinasi lengkap dengan suaranya ke dalam sebuah film. Visualisasi yang bisa mewakili perwujudan imajinasi dari jutaan pembaca Bumi Manusia.  Lain halnya jika target penonton Bumi Manusia adalah orang yang belum pernah membaca novelnya.

Kartini sebagai film biografi dianggap sukses dalam penggarapan tapi tidak sukses dalam pendapatan. Menuai pujian dari kritikus tapi tidak masuk dalam kategori box office meskipun dibintangi aktris paling terkenal seperti Dian Sastrowardoyo dan Christine Hakim.  Mengapa demikian?  Karena genre film bukan yang disukai oleh penonton Indonesia.

Bagaimanakah dengan Bumi Manusia? Ada peluang film ini sukses dalam dalam meraup keuntungan. Kabarnya film ini lebih banyak menceritakan kisah romansa Minke dengan Annelies. Kisah percintaan memang menjadi genre paling dinikmati oleh penonton Indonesia. Meskipun di novelnya diakhiri dengan kisah memilukan. Diharapkan Iqbaal Ramadhan yang sukses memerankan Dilan dan di Bumi Manusia ini sebagai Minke bisa menjadi magnet untuk menarik penonton. Terutama penonton usia muda yang tentu saja dari golongan wanita.

Kalau dari sisi kualitas, berharap minimal seperti Kartini. Mendapatkan penilaian positif dari kritikus. Tapi kritikus kali ini bukan dari Indonesia saja. Karena pembaca karya Pramoedya Ananta Toer di luar sana juga telah menanti karyanya difilmkan. Karena inilah satu-satunya karya sastrawan Indonesia yang telah diterjemahkan ke 41 bahasa di dunia.

Jika novel Bumi Manusia telah menjadi 'milik' manusia di belahan bumi ini. Bagaimanakah dengan film-nya? Ukuran sukses tidaknya mungkin tidak cukup dari sisi kualitas menurut penonton Indonesia. Tapi juga penonton di luar sana.

Jika novel Bumi Manusia dulu lebih dihargai di negeri orang dibanding negeri sendiri.  Semoga lain kisahnya dengan film Bumi Manusia, mendapatkan sambutan positif di negeri sendiri. Tapi juga mendapatkan kesempatan untuk ditayangkan di luar bumi Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun