Kini, aku sudah begitu akrab dengan wajah-wajah yang dirangkum kesunyian. Anak-anak yang tumbuh ketinggalan tumpangan karena kehilangan topangan. Para pekerja yang membanting tulang untuk ditukar dengan sedikit uang. Dan juga perantau yang menghapus tanggal merah untuk bisa berlibur panjang, pulang.
Seorang lelaki paruh baya menengok masa-masa lampau di kebun ingatnya dan kemudian berkata,"Memangnya siapa yang tak ingin pulang? kita hanya belum menemukan sesuatu yang benar-benar bisa disebut rumah."
Malam semakin menandaskan gurauan tubuh-tubuh lelah para pekerja. Dan di barak ini, riuh adalah sesuatu yang jauh. Sayup dan luruh menembus pelepah-pelepah sawit. Mengembuskan kisah sebuah tempat peruntungan bernama kota. Tempat di mana kebanyakan orang memulangkan mimpinya.
"Semua akan pulang dengan atau tanpa mimpinya. Kembali kepada asal atau ke tempat di mana perasaan yang entah berasal, tapi tak pernah seasing kematian." Mata lelaki itu sayu seakan menatap musim-musim aneh yang berbincang di kepalanya dan juga tahun-tahun sunyi yang akan menantinya.
Di luar begitu sunyi dan aku masih terjaga di antara pagar-pagar dingin, lampu-lampu redup dan pokok-pokok sawit yang melambai. Lelaki itu telah lebih dulu mengemasi potongan-potongan cerita tentang pulang dan kepulangan dalam lelapnya. Sedangkan aku mematung dengan pikiran yang semakin membelantara.
Ke mana aku akan pulang?
Satui, 06 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H