"I-iya, iya ada apa, Na." Aku gelagapan, tersadar dari beragam cuplikan masa lalu --tentangmu-- yang terulang begitu saja di kepalaku.
"Begini, aku datang ke sini, kota ini, aku ingin menyampaikan hal penting dalam hidupku," kamu mengambil sesuatu dari dalam tas berwarna coklat tua, "kita, kan sudah sahabatan sejak lama. Jadi, ini ...."
Aku terkejut dan membeku. Mataku tak berkedip melihat surat undangan yang kamu berikan.
Luigi and Anna.
"Ya, aku ingin kamu datang dan memberikan ucapan selamat atas hari bahagia yang telah lama kunantikan."
"Kenapa dengan Lui ... tidak. Selamat, ya, Aku pasti akan datang."
Kamu kembali tersenyum dengan kaca-kaca yang membinar di matamu. "Terima kasih. Â Oya, siapkan puisimu sebagai kado di hari pernikahanku nanti. Kamu mau, kan?"
Sialan! ini benar-benar terdengar sebuah ejekan dan aku telah kehilangan kata-kata, bahkan untuk sekadar mengatakan 'iya' atau 'tidak'.
Namun aku sadar, beberapa pertanyaan memang tak butuh jawaban dan beberapa hal kadang luput dari balasan. Seperti kenapa aku tak pernah bisa membencimu? atau tentang takdir cintaku yang tak berbalas.
Sudahlah!
Angsana, 20 April 2020