Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Beberapa Hal yang Luput dari Balasan

20 April 2020   19:33 Diperbarui: 21 April 2020   19:56 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pexels.com

Aku, lebih tepatnya kita, kurasa. Kita sedang mengulum banyak senyum. Meski garis kerutan bibir yang terkatup tak menyembunyikan apapun. Sipu menyungging, mengarsir warna merah di pipi wajah yang canggung.

"Apakah ini akan berlangsung lama?" tanyamu dengan lirikan mata yang segera dialihkan. Seperti ada yang salah dari pertanyaan itu.

"Aneh, ya?" Nada bicaraku terlalu kikuk untuk bisa kujelaskan.

Kamu hanya mengangguk. Lalu kita kembali menyesap senyap, di antara riuh pembuluh darahku yang seakan berontak. Masygul pada atmosfer aneh yang tiba-tiba muncul melingkari kita.

"Sejak kapan penyair kehilangan kata-kata?" Kamu tertawa tipis dan sekejap hening. Terdengar seperti mengejek, tapi sangat tanggung untuk disebut sebuah ejekan.

Sialan!

Aku menyangkal bahwa pertanyaanmu itu harus kujawab. Sebab kutahu, ada beberapa pertanyaan yang memang tak membutuhkan jawaban. Seperti kenapa aku begitu mengagumimu? atau hal-hal tentang hati lainnya.

"Se-sejak bertemu denganmu, lagi."

Tidak, apa yang barusan kukatakan?

Kamu kembali tertawa tipis. Lalu menahannya menjadi senyuman termanis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Semenjak kamu menghilang tanpa kejelasan.

"Xan ... Xander!"

"I-iya, iya ada apa, Na." Aku gelagapan, tersadar dari beragam cuplikan masa lalu --tentangmu-- yang terulang begitu saja di kepalaku.

"Begini, aku datang ke sini, kota ini, aku ingin menyampaikan hal penting dalam hidupku," kamu mengambil sesuatu dari dalam tas berwarna coklat tua, "kita, kan sudah sahabatan sejak lama. Jadi, ini ...."

Aku terkejut dan membeku. Mataku tak berkedip melihat surat undangan yang kamu berikan.

Luigi and Anna.

"Ya, aku ingin kamu datang dan memberikan ucapan selamat atas hari bahagia yang telah lama kunantikan."

"Kenapa dengan Lui ... tidak. Selamat, ya, Aku pasti akan datang."

Kamu kembali tersenyum dengan kaca-kaca yang membinar di matamu. "Terima kasih.  Oya, siapkan puisimu sebagai kado di hari pernikahanku nanti. Kamu mau, kan?"

Sialan! ini benar-benar terdengar sebuah ejekan dan aku telah kehilangan kata-kata, bahkan untuk sekadar mengatakan 'iya' atau 'tidak'.

Namun aku sadar, beberapa pertanyaan memang tak butuh jawaban dan beberapa hal kadang luput dari balasan. Seperti kenapa aku tak pernah bisa membencimu? atau tentang takdir cintaku yang tak berbalas.

Sudahlah!

Angsana, 20 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun