Ketika jejak-jejak rindu mulai berpijak di pematang senja. Tepat pada saat di mana binarnya telah memancang sepenuhnya di birai-birai cakrawala. Aku akan mengulas sedikit cerita. Tentang senyum yang kau kulum semenjana. Betapa biasnya mengarsir setiap pias lebam sipu yang paling merona.
Aku juga akan membaca ulang transkrip teka-teki rumit yang bersembunyi di balik kedua bola matamu. Meski lagi-lagi aku tak akan mampu memahami makna apa yang tersirat di ceruk itu. Namun, yang kutahu bahwa kau memiliki sepasang manik yang selalu memantik kagum paling membara di dalam dada. Betapa pancaran indahnya mampu menembus setiap relung sukma.
"Kita berpacu, yuk," katamu. Sebuah kalimat yang selalu kuingat. Pada saat kita kebang mengikuti pergerakan matahari yang melesat menuju peraduannya. Sebelum akhirnya, masing-masing kita pulang membawa sekantung resah dan segenggam renjana. Betapa, tak ada lagi percakapan yang tersisa, selain bising rindu yang begitu menggema.
Lalu, ketika matahari telah benar-benar tenggelam meninggalkan lahan dan malam mulai bersandar di bahu keheningan. Aku masih mengingatmu sebagai satu-satu yang kurindukan. Meski selaksa sunyi nyaris membuatku sedikit bicara tentang hati. Namun, kata-kataku tak akan pernah mati. Menjabarkan sesibir harap yang selalu kudekap di dalam mimpi, sampai aku terbangun di penghujung pagi. Betapa, tak ada lagi yang ingin kutemui dalam setiap langkahku meniti hari, selain dirimu yang selalu kunanti.
Angsana, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H