Mohon tunggu...
I Ketut Sudarsana
I Ketut Sudarsana Mohon Tunggu... Dosen - Abdi Negara pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

I Ketut Sudarsana lahir di Desa Ulakan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan (1994), SMPN 1 Manggis (1997), dan SMKN 1 Sukawati (2000). Pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di STAHN Denpasar (2004), dan Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di IHDN Denpasar (2009). Tahun 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Adapun alamat email iketutsudarsana@uhnsugriwa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UPI dan Kisah Awal Perjuangan

18 April 2020   09:10 Diperbarui: 19 April 2020   17:26 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petang itu saya pacu mobil dinas DK 1902 dengan cepat, menyelusuri jalan ratna menuju sebuah hotel di Kuta tempat menginap rombongan Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Sepanjang perjalanan itu kami berempat terus membahas rencana kuliah S3. Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) dengan penuh semangat meyakinkan aku bahwa ini adalah kesempatan emas. Tidak ketinggalan juga Bapak Prof. I Nengah Duija memberikan rasionalisasi mengapa harus kuliah S3 sekarang. 

Sesungguhnya pikiranku masih goyah setiap mengingat istriku yang baru saja melahirkan anak kembar. Belum lagi putri pertamaku yang baru berumur setahun. Sahabatku yang lain Bapak IGNA Wijaya Mahardika malah sudah memastikan tidak akan kuliah tahun itu 2011. Jadilah aku menghitung belokan jalan untuk mencari petunjuk Ilahi. Sampai akhirnya mobil kami melewati hotel dan harus memutar kembali dalam suasana macet, aku masih ragu.

Di hotel itu pertama kali saya diperkenalkan pada Ibu Dr. Ruhaliah dan Bapak Dr. Ugi Suprayogi yang saat itu menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Luar Sekolah SPs UPI. Masa pendaftaran sebenarnya sudah lewat namun kebijakan perpanjangan khusus pada kami itu hadir karena mereka sedang di Bali. Ku serahkan seluruh persyaratannya dengan setengah harapan, lulus atau tidak rasaku tetap beruntung.

Pengumuman tanggal untuk mengikuti ujian calon mahasiswa baru akhirnya keluar. Di pagi hari nan suntuk Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) sudah menjemput kerumah untuk bersama-sama ke Bandung. Penerbangan langsung Bali-Bandung waktu itu belum ada, sehingga kami harus mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan lanjut menggunakan bus ke Bandung. 

Kami turun di depo bis tersebut (seputaran Jalan Jendral Gatot Subroto), mencari taxi (maklum belum ada OJOL) namun langsung kena tipu. Oleh sopir diberitahu jika melalui jalan biasa akan sangat macet dan lama sehingga disarankan untuk melalui jalan tol Pasteur. Karena tidak tahu apa-apa, kami mengiyakan saja. Baru setelah mengetahui medan Bandung, saya menyadari bahwa sang sopir telah menipu kami, harapannya mungkin untuk menambah biaya sehingga diajak memutar sangat jauh.

Waktu test pun tiba, saya dan Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) duduk bersebelahan, namun saat menjawab soal serasa kami bermusuhan. Masing-masing percaya diri bahwa jawabannya benar. Padahal keraguan saya sempat muncul, ketika melirik jawaban Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) kok beda dengan jawaban saya. Setelah ujian saya mengontak Ibu Dr. Ruhaliah, untuk membantu agar kami berdua biar lulus (maaf ini rahasia ya).

Sepulang dari Bandung saya disibukkan oleh pelaksanaan akreditasi Program Studi Pendidikan Agama Hindu, hamper setiap hari bekerja di kampus Bangli. Bahkan ketika proses visitasi oleh assessor saya pulang subuh ke Denpasar (dan untuk pertama kali istri menutup pintu dan tidak mau membuka sebelum akhirnya saya putuskan untuk mendobrak). Untuk hal ini semoga istri saya tidak baca hehehe.

dokpri
dokpri
Pengumuman kelulusan pun tayang dalam website UPI dan disana hanya nama saya saja yang lulus. Mendadak dunia terasa gelap. Dalam pikiran saya bagaimana mungkin saya harus menjalani kehidupan di Bandung sendirian. Sempat saya diskusi dengan istri dan kolega untuk mengurungkan niat kuliah tahun tersebut. Namun istri dan kolega menguatkan agar tetap menjalaninya. Apalagi guru saya Br. Indra Udayana (sekarang Ida Rsi Putra Manuaba) sangat mendukung baik dari sisi moral maupun material. Bahkan beliau telah mencarikan rumah tempat tinggal selama di Bandung.

Bertepatan dengan pelaksanaan Temu Karya Ilmiah PTKH di Jakarta tahun 2011 (kebetulan jadi peserta lomba) saya meminta izin untuk langsung ke Bandung sesampainya di Jakarta untuk proses pelaksanaan pendaftaran kembali dan proses lainnya.

Bulan Agustus 2011 acara matrikulasi selama seminggu tiba, kali ini saya harus berangkat sendirian ke Bandung. Hati yang sunyi mulai menyergap. Tiba di Bandung, saya langsung menuju rumah Bapak Yuddy yang kebetulan berada diseberang kampus. Saya tiba sekitar jam 18.30 wib, dalam keremangan rumah sepi tanpa penghuni itu terlihat besar dan berlantai 2. Oleh tetangga yang dititipkan kunci saya diberitahu diperkenankan untuk menempati kamar dilantai 2. Pertama masuk, rumah hati saya sudah ciut, apalagi hanya sendirian saja.

Malam pertama itu saya mencoba memberanikan diri, sampai dijam 1 subuh terdengar air mengalir dikamar mandi bawah, suara pancuran airnya lumayan keras. Dalam hati saya heran kenapa keran air terbuka. Karena takut nanti kebanjiran dilantai bawah, saya memberanikan diri untuk turun dan masuk kekamar mandi. Ternyata tidak ada apa-apa. Keran air sudah tertutup. Seluruh bulu pada tubuh ini serasa mulai berdiri dan saya pun bergegas naik dan masuk kekamar lagi.

4 hari saya lewati dengan ketakutan setiap malamnya, bahkan ketika memejamkan mata serasa ada banyak orang yang menonton. Jam 7 malam saya sudah masuk kamar dan tidak berani lagi turun kelantai satu. Semua makanan dan minuman (jaga-jaga tengah malam lapar) saya bawa kekamar.

Malam hari ke 5 saya sudah tidak tahan, sehingga mengontak Bapak Saifuddin (kebetulan baru kenal saat dikampus) untuk izin menginap di kostnya (Bapak Saifuddin selanjutnya dalam perjalanan kuliah seperti bapak kandung saya, maklum umurnya dua kali lipat daripada saya). Bapak Saifuddin sangat baik dan mengizinkan saya menginap dikostnya.

Suasana pertama berpisah dari istri dan anak-anak membuat hati saya kesepian, apalagi hari minggu dengan tidak ada kegiatan dikampus dunia ini terasa gelap. Saya mencoba menghibur diri dengan jalan-jalan di seputaran kampus, namun tidak menghilangkan kesepian itu. Bahkan ditaman isola saya menangis dan pengen secepatnya pulang. Saya begitu menyesali kenapa Bapak Dewa Putu Tagel (Alm) tidak lulus. Padahal jika berdua pasti ada yang diajak bercerita, termasuk tidur dimalam hari tidak ketakutan.

Sewaktu sudah pulang ke Bali dan kekampus, saya ceritakan semua kejadian di Bandung kepada Ibu Kadek Aria Prima Dewi dan Bapak IGNA Wijaya Mahardika. Respon mereka lumayan mengecewakan “ah masa orang spiritual takut sama hantu”. 

Tetapi sudahlah….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun