Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bagaimana Nasib "Angket" Jika Koalisi Ganjar Mahfud Beda Kepentingan?

23 Maret 2024   14:31 Diperbarui: 23 Maret 2024   14:31 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilpres pertama dipilih langsung oleh rakyat dilaksanakan pada pemilu 2004 tanpa "cawe-cawe" Presiden Megawati sebagai petahana sekaligus kontestan melawan anak buahnya Menkopolkam, SBY. Relatif berjalan baik, jujur dan adil yang berlangsung dua putaran dengan kemenangan SBY.

Selanjutnya teknologi informasi mempengaruhi pemilu 2009. SBY ingin berkuasa kembali. Mulai "cawe-cawe" agar menang kontestasi. Ada propaganda dari lembaga survey sekaligus "tim sukses" agar pilpres berlangsung satu putaran. Peran lembaga survey menggeliat. Hasil pemilu 2009 disinyalir terjadi kecurangan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sistem perhitungan.

Maka muncullah Hak Angket terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif 2009. Alasan penggunaan Hak Angket adalah pelaksanaan pemilu 2009 tidak dapat menjamin hak konstitusional sebanyak 40 persen-an dari 172 juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Muncul pula hak angket kasus Century. Kader-kader SBY di partai Demokrat kena ciduk KPK untuk kasus korupsi.

Kemudian menghadapi pilpres 2014 relatif berlangsung baik, "head to head" Jokowi vs Prabowo. SBY memilih upaya mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap partainya, Demokrat. Sebagai presiden tidak "cawe cawe". Pilpres 2014 melahirkan kemenangan Jokowi.

Pilpres 2019 terjadi "tarung ulang" petahana Jokowi lawan Prabowo yang dimenangkan kembali oleh Jokowi. Pemilu dinilai relatif jujur, adil. Ada aturan cuti kampanye yang tegas, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan elektoral. Tidak ada yang mempersoalkan aturan pemilu termasuk syarat capres cawapres.

Pemilu 2024 oleh setiap partai dinilai strategis terutama koalisi pendukung pemerintah. Karena tak ada lagi petahana yang akan bertarung. Presiden Jokowi dianggap patuh konstitusi. Partai koalisi pemerintah berlomba untuk memanfaatkan efek elektoral dari kekuasaan yang mendapat sentimen positif atas kinerja pemerintah.

Partai politik mulai pasang kuda-kuda memanfaatkan infrastruktur pemerintah di kementerian/lembaga. Ada menumpang sosialisasi lewat program BUMN, program bansos, program pendidikan, hilirisasi tambang, sertifikat gratis, investasi asing, proyek strategis nasional, dll.

Tak ada satupun partai yang di Senayan yang ngotot untuk mengubah aturan pemilu, syarat capres cawapres termasuk president threshold.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 222 disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumya.

Maka PPP bersama Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pada tanggal 12 Mei 2022.

Tanggal 4 Juni 2022 Ketua DPP PPP Suharso Monoarfa masih sempat memberikan pidato dalam Silaturahim Nasional KIB di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun