Kecurigaan masyarakat melihat penyelenggara pemilu tidak profesional terindikasi misalnya dari  perolehan suara ajaib Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang tertukar dengan suara tidak sah di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Terkait lonjakan suara ajaib PSI tersebut, Presiden Jokowi  malah mensimplikasi persoalan dengan mengatakan bahwa itu semata urusan partai (4/3/2024).
Desakan kepada DPR untuk menggunakan Hak Angket telah disuarakan oleh sejumlah elemen mulai dari mahasiswa, buruh, lembaga swadaya masyarakat serta kelompok civil society lainnya. Â
Penggunaan Hak Angket sebagai hak konstitusional DPR direspons positif berdasarkan hasil survey Litbang Kompas tanggal 26-28 Pebruari 2024 bahwa 62,2 persen responden jajak pendapat menyatakan setuju menggunakan Hak Angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilihan presiden (pilpres).
Ketika penyelenggara pemilu digugat masyarakat atas anomali perolehan suara pilpres dan pemilu legislatif (pileg) lalu dimanakah posisi presiden?
Sejak awal tahapan pemilu, Presiden Joko Widodo "patut diduga" baik langsung maupun tak langsung telah mengintervensi kekuasaan hukum melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan anaknya sebagai cawapres 2024.
Praktek nepotisme diduga terjadi untuk mengubah syarat capres cawapres yang melibatkan relasi keluarga antara Jokowi, iparnya yang ketua MK, Anwar Usman dan anaknya, Gibran Rakabumi sebagai subyek gugatan uji materi.
Vonis pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan MK kepada Ketua MK seharusnya cukup menjadi dalil oleh Presiden untuk menghentikan pencalonan Gibran sebagai cawapres. Apalagi KPU tidak mengkonsultasikan putusan MK terkait syarat capres cawapres kepada DPR selaku pembuat undang-undang.
Bertentangan dengan pernyataan presiden Jokowi sebelum putusan MK bahwa Gibran dinilai belum cukup umur dan belum banyak pengalaman mengingat menjabat walikota  baru 2 tahun. Namun setelah didaftarkan ke KPU sebagai cawapres lalu bertolak belakang dengan pernyataan presiden bahwa sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendoakan, toh juga yang milih rakyat.
Dengan pernyataannya yang ambigu presiden Jokowi tidak menunjukkan kenegarawanannya maka patut diduga telah melalaikan tugas dan perannya dalam menjamin terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil.
Padahal Presiden diberi kewenangan memberhentikan hakim konstitusi secara tidak hormat dengan alasan hakim melakukan perbuatan tercela atau melanggar sumpah/janji jabatan atau melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Kewenangan presiden tersebut sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang dan lebih rinci diatur dalam Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 4 Tahun 2012.