Mohon tunggu...
Ikbar Raihan Rasyiq
Ikbar Raihan Rasyiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Criminology Student at University of Indonesia

A Student and Writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dekriminalisasi Kebijakan pada Legalisasi Ekspor Benih Bening Lobster

23 Juli 2024   13:22 Diperbarui: 23 Juli 2024   13:22 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, dengan 70% wilayahnya berupa lautan, memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar. Setidaknya 37% spesies ikan di dunia ada di perairan Indonesia, menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu sumber pendapatan potensial bagi negara. Lobster (Panulirus spp.) merupakan salah satu komoditas perikanan dengan nilai ekonomi tinggi. Misalnya, lobster jenis mutiara (Panulirus ornatus) dengan ukuran 300 gram dapat dihargai antara US$30 hingga US$40 di pasar dunia (Dinas Kelautan & Perikanan Yogyakarta, 2023).

Untuk menjaga stabilitas harga dan mencegah hilangnya nilai ekonomis dari komoditas ini, pemerintah melarang ekspor benih bening lobster (BBL) sesuai dengan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Aturan ini juga bertujuan melindungi ekosistem laut, karena penangkapan lobster terus menyusut akibat perdagangan BBL yang tidak terkendali (Dwi, 2023). Pemerintah hanya mengizinkan nelayan untuk membudidayakan BBL di wilayah Indonesia berdasarkan Permen KP Nomor 16 Tahun 2022, yang mengatur tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Beberapa ketentuan harus diperhatikan, termasuk estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Meskipun ada pelarangan ekspor BBL, kasus penyelundupan BBL ke luar negeri terus terjadi. Hampir setiap tahun, jutaan ekor BBL berhasil diselundupkan dengan total estimasi kerugian negara sebesar Rp52 triliun hingga Rp54 triliun (CNN Indonesia, 2024). Selama tahun 2024, terdapat 17 pengungkapan kasus penyelundupan BBL yang melibatkan 29 orang pelaku. Jumlah BBL yang diselundupkan mencapai 1,6 juta ekor dengan estimasi kerugian negara senilai Rp110 miliar. Fenomena ini terus terjadi akibat tingginya permintaan BBL dari luar negeri dengan harga yang menggiurkan. Vietnam sebagai negara utama tujuan para penyelundup, biasa mendapatkan harga dari pengusaha lobster di sana sebesar Rp150 ribu per ekor, sementara Singapura memberikan harga sekitar Rp130 ribu per ekor (Ambari, 2018).

Menurut Indradinata & Samputra (2023), modus operandi penyelundupan BBL terbagi menjadi dua: penyelundupan murni tanpa dokumen dan penyelundupan dengan tidak mengungkapkan jumlah yang sebenarnya. Para pelaku biasanya memilih moda transportasi udara karena BBL yang dibawa dengan menggunakan plastik hanya bertahan selama 8 hingga 10 jam. Oleh karena itu, banyak kasus penyelundupan BBL terungkap di bandara internasional seperti Bandara Soekarno Hatta, Bandara Juanda, dan Bandara Internasional Lombok.

Sulitnya membendung penyelundupan BBL membuat pemerintah sempat merevisi aturan dengan melegalkan ekspor BBL. Edhy Prabowo, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, menerbitkan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Edhy beralasan bahwa legalisasi ekspor BBL bertujuan menyejahterakan nelayan yang menggantungkan hidup dari BBL dan membangkitkan kegiatan pembudidayaan lobster di banyak daerah (Idris, 2020). Namun, banyak pihak menemukan bahwa ekspor BBL tidak memenuhi pungutan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) (Dwi, 2023).

Tak lama setelah aturan ekspor BBL diterbitkan, Edhy Prabowo tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 24 November 2020. Ironisnya, Edhy ditangkap karena menerima suap sebesar Rp25,7 miliar dari para eksportir BBL untuk pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor BBL. Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara 9 tahun, yang kemudian dikurangi menjadi 5 tahun penjara, dengan denda Rp400 juta dan pencabutan hak politik selama 2 tahun (Farisa, 2020).

Sakti Wahyu Trenggono, yang ditunjuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Edhy Prabowo, kembali mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor BBL. Namun, situasi tetap sama seperti saat Menteri Susi Pudjiastuti melarang ekspor BBL. Kasus penyelundupan BBL terus terjadi dengan jumlah yang besar. Upaya penegakan hukum oleh berbagai instansi tidak berdampak signifikan dalam menurunkan kasus penyelundupan BBL. Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menemukan bahwa budidaya lobster di Vietnam terus berkembang dengan bibit yang 100% berasal dari Indonesia (Sembiring, 2024).

Menerima kenyataan bahwa sulit mengatasi penyelundupan BBL, Kementerian KKP mengeluarkan kebijakan dekriminalisasi dengan mengizinkan BBL dijual ke luar negeri. Permen KP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan menjadi dasar hukum kebijakan tersebut. Menteri Sakti menegaskan bahwa kebijakan ini memiliki skema berbeda dari yang sebelumnya dan bukan sepenuhnya membuka keran ekspor BBL. Perusahaan asing dapat berinvestasi untuk tujuan membudidayakan BBL dengan syarat membentuk perseroan terbatas berbadan hukum Indonesia. Beberapa persyaratan harus dipenuhi oleh para investor, seperti perusahaan joint venture yang menjadi eksportir harus ikut membudidayakan BBL di Indonesia, melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil panen dengan minimal berat 50 gram per ekor, menetapkan harga patokan terendah sebesar Rp8500 per ekor, hingga melakukan kerja sama dengan Badan Layanan Umum (BLU) untuk mendapatkan BBL (Sukmawijaya, 2024). Diharapkan melalui skema ini pemerintah mendapatkan penerimaan negara yang selama ini tidak didapatkan karena banyaknya kasus penyelundupan BBL.

Meskipun pemerintah telah mengizinkan ekspor BBL ke luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku, kasus penyelundupan BBL tetap terjadi. Sejak kebijakan ini berlaku pada Maret 2024, tercatat beberapa kasus penyelundupan BBL, seperti yang terjadi di Bandara Yogyakarta International Airport dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pertengahan Mei, dengan estimasi kerugian negara hampir mencapai Rp25 miliar.

Pembukaan ekspor BBL masih memiliki banyak catatan penting bagi pemerintah agar kelestarian populasi lobster dapat terjaga dan negara tidak terus mengalami kerugian. Adhiem (2024) menjelaskan bahwa pemerintah harus terus melakukan pendekatan holistik dengan melibatkan banyak pihak seperti komunitas nelayan, peneliti, dan pihak-pihak lain yang terlibat. Pemerintah juga harus memiliki database yang menginformasikan segala aktivitas ekspor BBL agar populasi lobster di alam tetap terjaga. Ancaman perubahan iklim yang dapat meningkatkan suhu bumi secara global juga perlu diperhatikan, karena terumbu karang yang menjadi habitat lobster bisa mengalami pemutihan sehingga pola migrasi lobster dapat berubah, berdampak pada pengelolaan stok lobster. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum juga harus menjadi perhatian utama. Menteri KKP sebagai instansi terdepan dalam mengatasi penyelundupan BBL harus menjaga sinergitas dengan instansi lainnya untuk melakukan koordinasi dalam upaya penanggulangan penyelundupan BBL yang merugikan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun