terorisme. Hal ini dapat dilihat pada penilaian yang dilakukan oleh Global Terrorism Index (GTI) tahun 2022 tentang ancaman terorisme di berbagai negara.Â
Indonesia hingga saat ini terus dihadapkan pada tingginya ancaman dari kejahatanNilai indeks yang dikeluarkan oleh GTI menunjukan negara Indonesia di urutan ke-24 dari 163 negara. Penilaian dari GTI tersebut meningkat jika dibandingkan pada tahun 2021 yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-37 (Vision of Humanity, 2022). Data penangkapan para tersangka tindak pidana terorisme juga meningkat.Â
Data yang dirilis oleh Polri menunjukan di tahun 2021 terdapat 371 orang yang ditangkap atas kasus tindak pidana terorisme. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan di tahun 2020, dimana terdapat 228 orang yang ditangkap atas kasus tindak pidana terorisme (Musyafak, 2021)
Belum selesai dengan permasalahan terorisme di dalam negeri, Indonesia kembali dihadapi oleh adanya permasalahan kepulangan para Foreign Terrorist Fighter (FTF) yang pulang kembali ke Indonesia.Â
Permasalahan kepulangan FTF ini menjadi pembahasan di bidang penanggulangan terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar juga menyinggung masalah ini di awal tahun 2022 yang disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI (Bayhaqi, 2022).Â
Kepulangan para pelaku FTF ini memang perlu menjadi perhatian karena memiliki kemampuan berperang, melakukan perekrutan anggota baru dan memfasilitasi jaringan teroris lokal dan internasonal (Akbar, Widodo & Anwar, 2020). Potensi-potensi itu membuat adanya penolakan kepulangan FTF oleh beberapa pihak.Â
Opsi pencabutan status kewarganeraan juga dihadirkan sesuai pada ketentuan hukum pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mengatur hal-hal yang dapat menyebabkan seorang WNI kehilangan status kewarganegaraannya (Arifin, 2020).Â
Opsi pencabutan status kewarganegaraan memang bisa saja diberikan karena kegiatan mereka bisa saja dianggap mengikuti pelatihan dari dinas tentara asing. Namun, apakah tindakan-tindakan tersebut memang perlu diberikan kepada para FTF yang kembali karena potensi ancamannya?
Terkait dengan pemahaman singkat FTF, UN Security Resolution 2178 mendefiniskannya sebagai individu yang melakukan perjalanan ke negara lain yang sedang berkonflik untuk melaksanakan perbuatan, perencanaan atau persiapan dan mendapatkan pelatihan teroris dalam melakukan aksi terorisme (United Nations, 2014).Â
PBB mengemukakan negara Irak dan Suriah merupakan negara yang paling banyak menjadi tujuan para FTF untuk bergabung dengan ISIS dengan jumlah sekitar 40.000 orang yang berasal dari 120 negara pada tahun 2015.
Bagaimana dengan Indonesia? BNPT melalui Satgas FTF sejak tahun 2014 telah mendata WNI yang menjadi FTF. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang FTF terbesar. Di tahun 2014 tercatat ada 395 WNI yang berangkat ke Irak dan Suriah. Angka itu terus meningkat hingga di tahun 2019 ada 2377 WNI (Rahmanto, 2019).Â
Di tahun ini, Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar mengungkapkan 2.157 WNI dengan rincian 333 adalah perempuan dan 315 adalah anak-anak. Mereka banyak yang berangkat ke Irak dan Suriah dikoordinasikan oleh salah satu kelompok teroris yang terafiliasi oleh ISIS, yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD) (CNN Indonesia, 2022).
Sekarang permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah gelombang kepulangan FTF atau returnees ke Indonesia dianggap akan mengancam keamanan dalam negeri karena potensi serangan teror akan meningkat.Â
Anggapan tersebut sangat masuk akal karena para returnees FTF memiliki keterampilan berperang yang lebih baik dan keberanian yang lebih tinggi dibandingkan teroris biasa yang tidak pernah keluar dari negara asalnya. Hal tersebut dikarenakan pengalaman mereka yang dimiliki selama berada di wilayah konflik. Sejarah juga telah mencatat bahwa para returnees FTF ini pernah membuat kekacuan di Indonesia akibat serangan teror yang dilakukan.Â
Perisitwa Bom Bali I di tahun 2002 adalah contohnya, dimana para pelakunya yaitu Imam Samudera, Ali Imron dan Umar Patek merupakan alumni FTF gelombang pertama yang berasal dari Afghanistan yang kembali pulang ke Indonesia (Rahmanto, 2019).
Meskipun demikian, ternyata para returnees FTF ini tidak selalu memberikan ancaman terhadap negara. Justru banyak di antara mereka memutuskan kembali ke Indonesia karena kecewa terhadap ISIS sehingga hal yang mereka cari dari awal tidak didapatkan selama di negara tujuan.Â
Pernyataan tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian di artikel yang ditulis oleh Rahmanto, Meliala dan Lolo tahun 2020 yang berjudul "Ideology Deconstruction of Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Returnees in Indonesia". Penelitian ini secara umum mengungkapkan perubahan pemikiran yang dialami oleh returnees FTF untuk tidak terlibat kembali dengan jaringan teroris manapun akibat pengalaman dan interaksi mereka selama menjadi FTF di Irak dan Suriah
Sebagai informasi, penelitian ini melakukan pengumpulan data dengan studi literatur dan wawancara mendalam terhadap 20 orang returnees FTF dari Irak dan Suriah yang kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk tidak terlibat pada aktivtas terorisme di dalam negeri. Lalu data diolah menggunakan kerangka analisis teori Just World dan dekonstruksi.
Hasil penelitian ini mengungkapkan pengalaman para returnees yang mendapatkan pengalaman ke negara tujuannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat tiga tujuan awal yang menjadi ekspektasi para FTF, yaitu mendapatkan hal-hal yang pantas diraih saat melakukan hijrah (berpindah tempat, keadaan atau sifat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT), harapan untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan di bawah Daulah Islamiyah (pemerintahan berdasarkan syariat islam) dan kesadaran peran mereka sebagai muslim khususnya untuk berjihad.
Sungguh amat disayangkan, justru pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan sangat berbeda. Terdapat lima klasifikasi ketidaksesuaian ekspektasi yang membuat mereka mengubah pemikiranya. Empat diataranya berhubungan langsung dengan tindakan yang diperlihatkan oleh ISIS, yaitu pengalaman menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, pengalaman menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh ISIS, situasi di Suriah berbeda dengan ekspektasi sebelum memutuskan untuk berangkat dan perbedaan pemahaman terhadap Al-qur'an dan Hadis. Adapun satu klasifikasi lagi yaitu berhubungan dengan pengaruh keluarga yang sangat kuat.
Pengalaman-pengalaman yang dialami oleh FTF selama di Suriah diceritakan secara lengkap oleh para informan. Seperti pada klasifikasi pertama informan mengatakan dipaksa oleh pasukan ISIS untuk ikut berperang, padahal niat awal kedatangannya adalah untuk memberikan bantuan. Dia tetap dipaksa dengan perlakuan kasar seperti ditendang dan diinjak untuk melakukan latihan berperang.Â
Pelecehan seksual yang dilakukan pasukan ISIS juga dialami oleh informan lainnya. Salah seorang informan bersama ibunya mengaku pernah mengalami pelecehan saat sedang berada di rumah sakit di Mosul, Irak oleh seseorang yang mengaku dokter dari pasukan ISIS. Tindakan tersebut telah dilaporkan kepada otoritas setempat, tetapi informan justru harus mengalami kekecewaan kembali karena kasusnya tidak diitangani dengan serius dan tersangka tidak dihukum.
Klasifikasi kedua juga diceritakan oleh informan lainnya. Misalnya seorang informan pernah menyaksikan pasukan ISIS melakukan pemenggalan kepala di ruang publik terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuh. Tubuhnya pun dipamerkan dan biasanya dijadikan sebagai tempat bermain untuk anak-anak. Klasifikasi pengalaman ketiga kurang lebih hampir serupa pada pengalaman pada klasifikasi yang pertama.Â
Salah seorang informan mengatakan dia datang ke Suriah untuk melakukan misi kemanusiaan karena melihat propaganda ISIS sedang melakukan jihad. Akan tetapi, selama di sana situasi yang ditemukan sangat berbeda. Informan menganggap perilaku mereka tidaklah mencerminakan para pejuang Islam yang sedang berjihad, melainkan melakukan kekerasan-kekerasan untuk mendapatkan uang dan kekuasaan.
Klasifikasi keempat adalah beberapa informan merasa pemahaman terhadap Al-qur'an dan Hadist sangatlah berbeda. Hal tersebut tercermin dari perilaku mereka saat berperang dan juga saat melaksanakan ibadah.Â
Pernah di saat melakukan baku tembak dengan musuh, seorang informan merasa heran dengan pasukan ISIS yang tetap melakukan tembakan kearah yang jaraknya mencapai 1km padahal hanya menggunakan senjata-senjata yang hanya bisa mencapai paling jauh 400m. Akan tetapi, mereka tetap melakukannya dan mengatakan bahwa peluru-peluru tersebut akan tetap sampai mengenai musuh karena dibantu oleh malaikat-malaikat Allah.Â
Pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh pasukan-pasukan ISIS juga sangat mengherankan. Seorang informan saat berada di kamp-kamp ISIS melihat mereka melakukan wudhu dengan asal-asalan. Saat melaksanakan sholat pun, jumlah rakaat yang dilaksanakan berbeda dengan jumlah ketentuan rakaat sholat yang seharusnya.
Adapun klasifikasi terakahir yang membuat returnees FTF tidak terlibat pada kegiatan terorisme adalah peran keluarga. Memang di beberapa penelitian mengungkapkan proses radikalisasi seseorang yang mengarah pada kejahatan terorisme salah satunya dipengaruhi oleh peran keluarga.Â
Akan tetapi, di dalam penelitian ini mengungkap sisi lainnya dari adanya peran keluarga. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka memutuskan untuk keluar dari ISIS dan memutuskan kembali ke Indonesia karena masih menjaga komunikasi dengan anggota keluarga di Indonesia. Mereka merasa perannya di keluarga masih sangat dibutuhkan. Pada keterangan lain, ada yang merasa bersalah kepada Ibunya karena tidak mengatakan dengan jujur kemana tujuannya pergi dan kegiatan apa yang akan dilakukan.
Dari hasil penelitian tentang returnees FTF ini, setidaknya terdapat dua penarikan kesimpulan yang dapat dilakukan. Pertama, keterangan yang diambil dari 20 returnees asal Suriah ini setidaknya memberikan sudut pandang lain terkait niat kembali mereka ke Indonesia. Memang pernah ada pengalaman yang tidak baik bagi negara Indonesia dari para returnees ini seperti yang terjadi pada peristiwa Bom Bali I. Namun setidaknya hasil penelitian ini memberikan wawasan baru bahwa banyak di antara para returnees ingin kembali karena merasa tidak mendapatkan hal yang telah diinginkan sejak awal.
Kedua adalah pemerintah dapat terus memberikan kesempatan kepada returnees untuk kembali ke Indonesia dengan selalu waspada. Hal itu dilaksanakan tidak serta merta membiarkan mereka begitu saja masuk ke Indonesia. Akan tetapi, bisa dilakukan mengikuti kewajiban pembinaan seperti yang telah dilakukan oleh BNPT dan lembaga lainnya terhadap deportan FTF sejak tahun 2017 agar memastikan mereka kembali tidak untuk merencanakan aksi teror dan mempersiapkan reintegrasi sosial mereka sebelum kembali ke masyarakat (Wibisono, 2020). Jika status kewarganegaraan mereka hilang, pemerintah juga bisa memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali memperoleh status kewarganegarannya kembali sesuai pada PP No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (Arifin, 2020).
Daftar Pustaka
Arifin, S. (2020). Penghilangan Hak Kewarganegaraan Bagi Eks ISIS. Widya Yuridika, 3(1), 71. https://doi.org/10.31328/wy.v3i1.1295
Akbar, T., Widodo, P., & Anwar, S. (2020). Potential Asymmetrical Threats from Foreign Fighter Returnees in Indonesia [Potensi Ancaman Asimetris Pada Foreign Fighter Returnees di Indonesia]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 11(2), 183--202. https://doi.org/10.22212/jp.v11i2.1770
Bayahqi, A. (2022). BNPT Antisipasi Kepulangan WNI Kombatan Teroris di Luar Negeri Lewat Jalur Ilegal. Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/peristiwa/bnpt-antisipasi-kepulangan-wni-kombatan-teroris-di-luar-negeri-lewat-jalur-ilegal.html
CNN Indonesia. (2022). BNPT Ungkap 2.157 WNI Berangkat ke Suriah Gabung ISIS. Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220419195352-12-786861/bnpt-ungkap-2157-wni-berangkat-ke-suriah-gabung-isis
Humanity of VIsion (2022). Global Terrorism Index. Visionofhumanity.Org. https://www.visionofhumanity.org/maps/global-terrorism-index/#/
Musyafak, N. (2021). Reproduksi Terorisme di Masa Pandemi. Centre for Religious Tolerance and Conflict Resolution Studies.
Rahmanto, D. N. (2019). Returnees ISIS Indonesia: Dekonstruksi Pemahaman Terhadap Pandangan Dunia yang Adil. In FISIP UI. Universitas Indonesia.
Rahmanto, D. N., Meliala, A. E., & Lolo, F. A. (2020). Ideology deconstruction of Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) returnees in Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 10(2), 381--408. https://doi.org/10.18326/IJIMS.V10I2.381-408
United Nations. (2014). S_Res_2178(2014)_E. Resolution 2178, 1--8.
Wibisono, A. A. (2020). Kebijakan Respons Indonesia terhadap Problematika Teroris-Kombatan Transnasional Pasca Bom Bali 2002 [Indonesia's Policy Response to Foreign Terrorist Fighter Problem In Post-2002 Bali Bombings]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 11(1), 19--42. https://doi.org/10.22212/jp.v11i1.1543
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H