Di tahun ini, Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar mengungkapkan 2.157 WNI dengan rincian 333 adalah perempuan dan 315 adalah anak-anak. Mereka banyak yang berangkat ke Irak dan Suriah dikoordinasikan oleh salah satu kelompok teroris yang terafiliasi oleh ISIS, yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD) (CNN Indonesia, 2022).
Sekarang permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah gelombang kepulangan FTF atau returnees ke Indonesia dianggap akan mengancam keamanan dalam negeri karena potensi serangan teror akan meningkat.Â
Anggapan tersebut sangat masuk akal karena para returnees FTF memiliki keterampilan berperang yang lebih baik dan keberanian yang lebih tinggi dibandingkan teroris biasa yang tidak pernah keluar dari negara asalnya. Hal tersebut dikarenakan pengalaman mereka yang dimiliki selama berada di wilayah konflik. Sejarah juga telah mencatat bahwa para returnees FTF ini pernah membuat kekacuan di Indonesia akibat serangan teror yang dilakukan.Â
Perisitwa Bom Bali I di tahun 2002 adalah contohnya, dimana para pelakunya yaitu Imam Samudera, Ali Imron dan Umar Patek merupakan alumni FTF gelombang pertama yang berasal dari Afghanistan yang kembali pulang ke Indonesia (Rahmanto, 2019).
Meskipun demikian, ternyata para returnees FTF ini tidak selalu memberikan ancaman terhadap negara. Justru banyak di antara mereka memutuskan kembali ke Indonesia karena kecewa terhadap ISIS sehingga hal yang mereka cari dari awal tidak didapatkan selama di negara tujuan.Â
Pernyataan tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian di artikel yang ditulis oleh Rahmanto, Meliala dan Lolo tahun 2020 yang berjudul "Ideology Deconstruction of Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Returnees in Indonesia". Penelitian ini secara umum mengungkapkan perubahan pemikiran yang dialami oleh returnees FTF untuk tidak terlibat kembali dengan jaringan teroris manapun akibat pengalaman dan interaksi mereka selama menjadi FTF di Irak dan Suriah
Sebagai informasi, penelitian ini melakukan pengumpulan data dengan studi literatur dan wawancara mendalam terhadap 20 orang returnees FTF dari Irak dan Suriah yang kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk tidak terlibat pada aktivtas terorisme di dalam negeri. Lalu data diolah menggunakan kerangka analisis teori Just World dan dekonstruksi.
Hasil penelitian ini mengungkapkan pengalaman para returnees yang mendapatkan pengalaman ke negara tujuannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat tiga tujuan awal yang menjadi ekspektasi para FTF, yaitu mendapatkan hal-hal yang pantas diraih saat melakukan hijrah (berpindah tempat, keadaan atau sifat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT), harapan untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan di bawah Daulah Islamiyah (pemerintahan berdasarkan syariat islam) dan kesadaran peran mereka sebagai muslim khususnya untuk berjihad.
Sungguh amat disayangkan, justru pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan sangat berbeda. Terdapat lima klasifikasi ketidaksesuaian ekspektasi yang membuat mereka mengubah pemikiranya. Empat diataranya berhubungan langsung dengan tindakan yang diperlihatkan oleh ISIS, yaitu pengalaman menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, pengalaman menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh ISIS, situasi di Suriah berbeda dengan ekspektasi sebelum memutuskan untuk berangkat dan perbedaan pemahaman terhadap Al-qur'an dan Hadis. Adapun satu klasifikasi lagi yaitu berhubungan dengan pengaruh keluarga yang sangat kuat.
Pengalaman-pengalaman yang dialami oleh FTF selama di Suriah diceritakan secara lengkap oleh para informan. Seperti pada klasifikasi pertama informan mengatakan dipaksa oleh pasukan ISIS untuk ikut berperang, padahal niat awal kedatangannya adalah untuk memberikan bantuan. Dia tetap dipaksa dengan perlakuan kasar seperti ditendang dan diinjak untuk melakukan latihan berperang.Â
Pelecehan seksual yang dilakukan pasukan ISIS juga dialami oleh informan lainnya. Salah seorang informan bersama ibunya mengaku pernah mengalami pelecehan saat sedang berada di rumah sakit di Mosul, Irak oleh seseorang yang mengaku dokter dari pasukan ISIS. Tindakan tersebut telah dilaporkan kepada otoritas setempat, tetapi informan justru harus mengalami kekecewaan kembali karena kasusnya tidak diitangani dengan serius dan tersangka tidak dihukum.