Mohon tunggu...
Ikbal MujamilHamdan
Ikbal MujamilHamdan Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa uin maulana malik ibrahim malang

Pengen santai ajah

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Contoh Artikel Ilmiah

5 Desember 2019   23:30 Diperbarui: 5 Desember 2019   23:29 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

JURNALISME, KEAMANAN DAN KEBEBASAN PERS

Jurnalis adalah profesi penting yang dianggap sebagai pilar ke empat penopang demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika keberadaannya sanagat dibutuhkan oleh siapa pun. baik oleh masyarakat atau pun negara sekalipun.

Jurnalis memiliki peran sebagai penyambung lidah antara berita kejadian dengan para penikmat. Disalurkan melalui berbagai media baik cetak atau pun tidak yang selanjutnya akan menjadi santapan publik untuk membantu kehidupan mereka.

Peran berita yang disampaikan pun bermacam-macam bisa sebagai sumber informasi, hiburan, alat kontrol sosial, agen pembaharu, pendidik masyarakat, tempat untuk memperluas cakrawala, bisa untuk memusatkan perhatian, menjadi sumber inspirasi, sebagai media perubahan sosial, membantu mengenakan norma sosial, menumbuhkan selera dan bisa memperkuat sikap seseorang juga sebagai jembatan yang menghubungkan antara kejadian dan konsumen[1].

 

Begitu banyak peran berita yang dibuat oleh jurnalis dalam kehidupan. Namun, apakah seorang jurnalis sudah memiliki jaminan keamanan ketika mereka mencari sebuah berita tertentu. Banyak kejadian seperti kekerasan menimpa seorang jurnalis.

 

Dalam hal ini Aliansi Jurnalis Independen yang disingkat AJI telah menemukan berbagai kekerasan yang dialami oleh para jurnalis ketika mereka melakukan peliputan gelombang aksi. Menurut Joni Aswira selaku Divisi Advokasi AJI Indonesia, kekerasan yang tejadi itu selalu dalam bentuk yang sama yaitu para aparat tidak mau kekerasan mereka terhadap para demonstran diliput.

 

            Kekerasan yang dilakukan oleh aparat itu sendiri terjadi pada proses liputan seperti yang terjadi pada tangal 21-22 mei 2019 ketika para wartawan memberitakan tentang Aksi di depan gedung DPR. Empat jurnalis dikonfirmasi mendapat perlakuan yang keras dari aparat. Mereka adalah jurnalis dari IDN Times, Katadata, Kompas.com, Metro tv.

 

            Selain keempat orang itu masih ada enam orang lain yang mendapat perlakuan kasar di tempat yang berbeda-beda. Di Makassar, Jurnalis Antara ditarik juga ditendang oleh seorang polisi. Hal ini sudah dikonfirmasi dan diverikasi oleh AJI tentang kebenarannya. Selain dari Media Antara, jurnalis dari Warta Inikata.com juga Makassar Today mendapat perlakuan yang sama karena mereka merekam aksi brutal yang dilakukan oleh aparat.

 

            Masalah kekerasan seperti ini akan mengancam keberadaan Jurnalisme itu sendiri. Karena mereka akan terbayang-bayangi oleh perasan takut karena jaminan keamanan justru hilang oleh kelompok yang seharusnya melindungi mereka yaitu aparat.

 

            Dari kejadian di atas, muncul pernyataan seharusnya di mana posisi pemerintah dan aparatnya juga hukum yang berlaku dalam melindungi kebebasan pers ? lalu seberapa seriuskah pemerintah dalam menjalankan hukum tersebut.

 

            Kebebasan pers adalah hak bagi setiap jurnalis. Seperti dikutip dalam UU pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 4 ayat satu menyatakan bahwa seorang jurnalsistik boleh mencari, memperoleh, megolah dan menyebarluaskan sebuah informasi yang didaptkan dari sumber berita. Selain bagi jurnalis, kebebasan pers juga merupan hak asasi bagi setiap masyarakat.

 

            Pada ayat kedua bahkan bentuk-bentuk penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada pada pers nasional demi menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara.

 

            Dilanjutkan dengan kemerdekaan pers nasional yang berhak terhadap hak-haknya dalam bidang kejurnalistikan dan juga hak tolak bagi wartawan atau pun jurnalis untuk mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum yang diatur pada ayat ketiga dan keempat.

 

            Ke semua poin dari undang-undang ini ada untuk menjamin korisinilan berita yang dihasilkan. Juga menghindarkan seorang jurnalis dari kejahatan yang seolah terus membayangi ketika melakukan tugas sebagai seorang jurnalis.

 

            Selain UU di atas, sebenarnya pemerintah sendiri telah menetapkan sebuah regulasi untuk para wartawan agar keselamatan mereka terjamin dari kekerasan yang akan dialaminya ketika meliput sebuah berita atau pun aksi.

 

            Hal ini dijelaskan dalam pasal 170 KUHPidana, yang terletak dalam buku II tentang kejahatan dan buku V tentang kejahatan kejahatan terhadap ketertiban di depan umum . selain pasal ini, pasal 358 KHUPidana juga menjelaskan tentang itu.

 

            Dalam pasal 170 bab II dan Bab V djelaskan bahwa :

 

  • Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
  •  
  • Yang bersalah diancam :
  •  
  • Dengan pidana enjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan mengakibatkan luka-luka
  •  
  • Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun jika kekerasan mengakibatkan luka berat
  •  
  • Dengan pidana penjara paling lama belas tahun jika kekerasan mengakibatkan maut
  •  
  • Pasal 89 tidak diterapkan[2]

 

Pasal ini sudah bisa menjadi acuan bagi para pelaku yang ingin menggunakan kekerasan agar bisa menjadi warning untuk tidak berlaku semena-mena. Karena sudah jelasnya hukuman dan akibat yang didapat jika melakukan sebuah kekerasan.

 

Hal itu juga terjadi dalam kehidupan jurnalistik. Bagi siapa pun, masyarakat, ormas, atau pun aparatur pemerintah, seharusnya adanya pasal ini menjadi warning kita bersama agar tidak melakukan kekerasan pada pelaku media seperti jurnalis. Karena apa dilakukan akan menjadi bumerang bagi diri sendiri dan hal itu sangat tidak baik.

 

Selain pasal 170 KUHP, pasal 358 juga menegaskan tentang pelarangn ikut serta dalam sebuah perkelahian atau pun sebuah penyerangan karena akan terkena pidana berupa penjara paling lama dua tahun delapan bulan jika akibat perkelahian atau pun penyerangan itu adalah luka-luka berat yang diderita oleh korban. Lalu pidana berupa hukuman penjara paling lama empat tahun jika hal itu berakibat pada kematian.

 

Hukum dan regulasi sudah ditetapkan bagi para pelaku kekerasan bagi para jurnalis atau pun bagi individu atau kelompok yang mencoba menghalangi kerja jurnalis. Lalu pertanyaan yang muncul seberapa serius pemerintah dalam menangani isu ini ? lalu seperti apa seharusnya perlindungan terhadap para wartawan?.

 

Jika dilihat dari kejadian yang telah disebutkan diatas, sudah menjadi bukti ketidakseriusan para polisi sebagai aparatur negara untuk menjungjung tinggi kebebasan pers dan perlindungan pada jurnalistik.

 

Selain adanya kejadian diatas, laporan dari para korban yang juga seorang jurnalistik menegaskan ketidakseiusan para polisi dalam mengani kasus tersebut. Hal ini mengisyaratkan seolah polisi kebal terhadap ini karena mereka adalah polisi.

 

Korban yang melapor adalah wartawan dari warta Tirto dan Narasi TV yang mengalami intimidasi, dipiting, bahkan alat kerjanya dirampas oleh pihak kepolisian karena mereka mencoba mengambil gambar tentang kekerasan yang dilakukan aparat kepada para demosntran pada kegiatan aksi di depan MPR dan DPR.

 

Laporan yang dilayangkan oleh kedua korban adalah laporan tentang pelanggaran kebebasan pers juga sebuah tindak pidana berupa kekerasan. Dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers agar kasus ini cepat ditangani oleh pihak kepolisian.

 

Pihak dari LBH dan AJI ikut terus mengawal agar para pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang setimpal.

 

Selain pihak kepolisian yang dirasa kurang begitu serius dalam memperjuangkan kebebasan pers juga keamanan para jurnalis, masih ada media yang menjadi tempat para jurnalis yang kurang bergitu mendukung terhadap kedua hal ini. Mereka melarang sang korban yang seorang jurnalis untuk melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib. Padahal apa yang diperjuangkan oleh LBH Pers dan AJI adalah suatu bentuk dukungan bagi kelangsungan para jurnalis itu sendiri[3].

 

Melihat begitu peliknya permasalaan keamanan dan kebebasan pers yang menyangkut para jurnalis. Seharusnya semua elemen baik pemerintah, aparat yang pada kesempatan kali ini adalah kepolisian, media yang mewadahi para jurnalis untuk turut ikut serta dalam membangun suasana yang akan terus mendukung keamanan para jurnalis dan kebebasan pers dengan tidak adanya kejadian-kejadian seperti kekerasan dan lainnya terhadap para jurnalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun