Kebebasannya justru jadi titik awal pergulatan eksistensial Jeng Yah.
Jeng Yah kehilangan dirinya yang otentik usai kehilangan segalanya, keluarga dan mimpinya sebagai peracik saos.
Ia kini dicap 'kerumunan' kaum merah.Â
Yang bagi seorang eksistensialis seperti yang disebut Kierkegaard bahwa individu otentik tidak berkerumun.Â
Kerumunan atau publik selalu menihilkan identitas individu, Jeng Yah ogah berkerumun, sifatnya itu terlihat dari awal pengadegan yang kerap menolak jika bapak ajak ke pasar beli tembakau.Â
Jeng Yah kerap menyendiri, sebelum persitiwa 1965 maupun setelahnya.Â
Pergulatan jadi diri sendiri tampak menguat saat Jeng Yah bertemu dengan Seno Aji (Ibnu Jamil) pasca dirinya bebas.Â
Seno tawarkan kembali hasrat baru kepada Jeng Yah seperti Soeraja untuk jadi jembatan menemukan kembali identitas Jeng Yang sebagai peracik saos kretek.
Jeng Yah bergulat mengembalikan 'identitas' Gadis, racikan kretek miliknya saat bersama Soeraja dan bapaknya, namun tak berhasil.
Meski begitu, Jeng Yah menemukan kembali dirinya yg otentik lewat merek 'Kembang Setaman' racikan Jeng Yah yang diwariskan kepada Eko, sosok asisten Jeng Yah di ruang racik saos.
Namun, Jeng Yah meninggal sebelum bertemu masa lalunya, Soeraja.Â